“Ini kesekian kalinya aku mendapat tawaran untuk menikah dengan seseorang yang tak kukenal. Tapi kenapa aku masih memikirkan seseorang yang seharusnya sudah kulupakan? Bantu aku, bagaimana agar aku bisa move on dari seseorang yang namanya sering kulangitkan dalam doa-doa selama tiga tahun ini, Bund?”
Seorang
muslimah dengan paras yang tak mengecewakan bertutur di hadapan Ajeng dengan
mata sendu, tampak butiran bening akan segera jatuh memenuhi pipinya yang chubby.
Ajeng hanya memberinya telinga, perhatian, disertai empati. Selanjutnya, nama
muslimah itu akan menjadi salah satu dari sekian waiting
list dalam doanya sebagai barisan para perindu imam.
Di lain
waktu, notifikasi watshapp-nya tak
jarang berisi curhat para pejuang jofisah (baca: jomblo sampai sah) yang sedang
galau memutuskan antara menikah dulu atau bekerja. Pun beberapa pemuda
seringkali menitip biodata ta’arufnya kepada Ajeng. Alhamdulillah, atas izin
Allah di antara yang titip itu ada yang berjodoh, sebaliknya banyak yang belum
berjodoh.
Di saat
yang lain, telepon genggamnya tetiba berdering. Tampak sebuah nama yang tak
asing, seorang ibu muda menahan tangis, meminta waktu kapan bisa bertemu. Dari
seberang, sebelum telepon genggam ditutup ia kembali terisak sambil membisikkan
sebuah kalimat,
“Doakan aku kuat menghadapi ujian
rumah tangga ini ya, Bund?”
Mak
jomblang, kata orang awam demikian. Fasilitator, konselor hati, bahkan ada yang
menyebutnya dokter cinta. Jika menyebut kata dokter, ingatan Ajeng kembali ke
masa silam. Melewati lorong waktu dan berhenti pada kisah perjuangannya yang
bercita-cita menjadi seorang dokter.
***
Pertengahan
tahun 2000
Dering
telepon rumah memanggil-manggil. Di sebada shubuh saat sebagian penghuni rumah
kembali memilih melanjutkan mimpi dalam tidur yang lelap. Ajeng yang diliputi
perasaan cemas terhadap hasil UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri-yang
saat ini disebut SBM) bergegas mengangkat telepon yang hanya selangkah dari
pintu kamarnya. Meski rasa enggan menyelimuti khawatir jiwanya tak siap
menghadapi kenyataan.
Semalam
teman-teman sekolahnya berombongan mengajak Ajeng turut menginap di sebuah
warnet (warung internet) yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari
rumahnya. Tetapi, Ajeng memilih untuk tidak bergabung. Pun saat beberapa teman
menawarkan untuk mencatat nomor ujiannya. Ia susah payah melakukan penolakan.
Pertahanannya runtuh, saat ibu turut mendukung teman-temannya agar esok hari
tak repot membeli koran pengumuman hasil ujian.
“Ajeng?”
suara Anton dari seberang mengejutkan pikiran Ajeng yang sedang berkelana entah
ke mana.
“I...iiiyaaa,
Ton. Ini aku. Bagaimana hasilnya?” Ajeng tak bisa berbohong bahwa saat ini ia
sedang gugup maksimal. Tangan kanannya spontan meremas-remas kabel telepon,
sementara tangan kirinya masih bertahan memegang gagang telepon.
“Aku
hanya memastikan saja, khawatir adikmu yang ngangkat telponku. Aku kan pernah
salah orang. Habisnya suara kalian nggak ada bedanya. Sama persis.
Hahahahahaha...” tawa Anton yang renyah tak bisa memalingkan kecemasan Ajeng
yang kian bertambah.
“Terus
gimana hasilnya?” Ajeng mencoba untuk membuat Anton tho the poin ke tujuan ia menelponnya.
Sementara
Anton dari seberang sana dan masih dengan suara renyahnya malah bercerita
panjang lebar.
“Jadi
semalam kami itu berenam menginap di warnet yang ternyata milik orang tua teman
kita Ria, Jeng. Nggak nyangka banget kan, kami sampai dikasih camilan dan wedhang kopi segala lho. Dari jam dua
belas malam anak-anak sudah mulai stand
by buka alamat web-nya, eh lah
koq ternayata zonk. Hahahahah...”
Anton masih bercerita dengan suara renyahnya.
“Terus?”
Ajeng menyela, sambil bernafas panjang untuk menetralisir kecemasannya yang
semakin menjadi-jadi.
“Alhamdulillah, ini tadi habis
sholat shubuh web-nya baru aktif dan
teman-teman sedang mengantri memasukkan nomor ujiannya bergantian, termasuk
beberapa nomor ujian yang dititipkan kepada kami. Eh, tahu nggak sih Santi
diterima di kedokteran UI lho, Ria malah di kedoktersan UB, yang membuat kami surprise si Pratiwi itu lho diterima di
kedokteran UNAIR.”
“Kamu sendiri, Ton? Diterima di
mana?” sesak Ajeng mengucapkan kalimat tanya ini.
“Alhamdulillah, akhirnya doaku
terkabul Jeng, aku diterima di jurusan Biologi ITB. Eh, tapi kamu jangan sedih
ya, tadi aku sama teman-teman lebih dari tiga kali memasukkan nomor ujianmu
tapi koq gagal terus ya? Atau mungkin nunggu pengumuman di koran jam enam
nanti.”
Ajeng yang berada di seberang
langsung berlari menuju ke peraduan, menenggelamkan wajahnya dalam bantal. Air
matanya tumpah, ia menangis sejadi-jadinya. UMPTN kali ini ia gagal.
Sementara Anton memanggil-manggil
nama Ajeng yang masih belum menutup gagang teleponnya disertai keheranan.
Bergegas iapun menutup gagang telepon koin itu dengan segera sebelum telepon
berbunyi tiit yang artinya jatah koin akan segera habis.
Hingga di suatu sore, serombongan
teman-temannya kemarin datang lagi. Mereka bermaksud menghibur Ajeng yang mulai
tak memiliki semangat lagi. Apalagi melihat binar-binar kebahagiaan dari
keenamnya yang akan segera berpredikat menjadi mahasiswa. Kedengarannya gagah
sekali, apalagi jika ada yang bertanya, “kuliah di mana?” Wuuih, pasti sambil
membusungkan dada menjawabnya dengan bangga.
Di zaman itu, menjadi mahasiswa
di universitas negeri bukan hanya kebanggaan tetapi miliki prestise tersendiri. Apalagi bagi kami, alumni dari SMA terfavorit
di kabupaten saat itu. Hal ini kemudian yang membuat Ajeng memiliki pemikiran
sempit dan hanya mengedepankan prestise,
saat kemudian ia terpaksa harus menghabiskan waktu kuliah di sebuah universitas
swasta hanya untuk menunggu tes di tahun berikutnya demi mengejar cita-citanya
menjadi seorang dokter.
“Apa kata dunia, alumni SMA
favorit kuliah di kampus swasta?” batin Ajeng berteriak, mulai saat itu ia
memutuskan untuk menutup diri dari teman-teman seangkatanya. Iya, ia berpikir
ia akan malu jika seorang Ajeng Maharani, alumni SMA favorit itu hanya menjadi
seorang mahasiwi di kampus swasta.
***
Pertengahan
tahun 2001
Ini
adalah tahun kedua Ajeng mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi yang sudah berganti
nama dari UMPTN menjadi SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Kali ini
Ajeng memutuskan untuk menurunkan grade
ambisinya yang bercita-cita menjadi dokter umum, harus cukup mengambil
jurusan dokter gigi. Persiapan satu
tahun dirasa cukup untuk mengejar ketertinggalannya dari teman-teman
seangkatannya.
Ibarat
buah pisang tak berbuah dua kali. Dewi fortuna juga tidak berpihak kepada
Ajeng. Saat pengumuman SPMB, ia disuguhi seraut wajah ibu yang tak banyak
bicara sepulang dari mengantri koran pagi demi melihat nama anaknya terpampang
dalam deretan nama yang diterima di perguruan tinggi negeri. Ibu hanya
menunjukkan dengan wajah datar bahwa namaku ada diantara deretan ribuan yang
diterima. Tetapi bukan di jurusan pertama, sebaliknya diterima di jurusan yang
hanya kujadikan sebagai cadangan pun universitas negeri itu terletak jauh di
pulau Bali.
“Oh jadi
ini yang membuat ibu sepulang dari membeli koran tadi cenderung bersikap diam?”
batin Ajeng dalam hati.
Hingga
saat makan malam, Ajeng akhirnya mendapat wejangan
dari ibu.
“Kalau
kamu mau berangkat ke Bali, berangkat saja. Ibu tidak akan merestui.”
Sampai
di sini, dunia milik Ajeng seolah runtuh dan tiba-tiba gelap. Ajeng sudah tak
bisa berpikir lagi. Ia hanya bisa kembali menangis dan meratapi nasib. Pun
begitu banyak tanda tanya besar memenuhi benak.
“Apa
memang jalanku bukan menjadi dokter?” berkali-kali ia seolah meratapi takdir di
hadapan. Betapapun ikhtiar optimal yang selama ini ia lakukan, ia ratapi dan ia
maknai menjadi sebuah kegagalan. Dan ini untuk yang kedua kalinya.
“Akankah
aku mengubur cita-cita ini selama-lamanya?” bisik sisi hati Ajeng yang lainnya.
“Ayo Jeng, jangan putus asa masih
tersisa tahun ketiga. Kalau kamu berusaha, tidak ada yang tidak mungkin.
Semangat!” pekik Ajeng menyemangati diri sendiri.
Pertengahan
tahun 2002
Setelah
di tahun kedua ibunda tidak merestui, kali ini Ajeng memilih untuk manut orang tua. Memutuskan untuk terminal dulu demi mempersiapkan ajang
SMPMB di tahun ketiganya dengan lebih matang. Hari-harinya dipenuhi dengan les private mata pelajaran seperti matematika,
fisika, dan kimia . Pun beberapa kardus buku latihan soal dari dua tahun lalu
yang berasal dari meminjam ke tetangga dan teman-temannya hampir semua berlabel
lembaga bimbingan belajar terkenal.
Setiap
hari, sejak membuka mata hingga menutup mata lagi interaksinya hanya seputar
buku-buku latihan soal. Terkadang Ajeng sampai merasa bosan dan ingin muntah.
Tetapi demi sebuah cita-cita apalah daya ia harus berjuang sampai titik darah
penghabisan. Bukan Ajeng namanya kalau ia sampai menyerah begitu saja sebelum
mencapai garis finish. Sampai di
suatu siang, guru les matematikanya bercerita tentang suasana kampus biru
tempat beliau mengukir prestasi dan harapan kelak akan menjadi seorang pendidik
generasi penerus negeri. Sebut saja namanya Bu Arik.
Deskripsi
Bu Arik tentang kampus biru seolah mengalihkan cita-cita besar Ajeng yang
selama ini dipenuhi ambisi menjadi
seorang dokter. Seharusnya ia tahu diri, setelah beberapa kali try out hasilnya belum mencapai nilai index passing grade jurusan yang diidam-idamkan. Apa boleh buat,
jika zaman dulu ada tes talent mapping
pun sidik jari stifin, mungkin ia tak
akan membuang waktu hanya untuk mengejar sesuatu yang halu. Tapi nasi sudah
menjadi bubur. Yang membuat ia bersyukur, Bu Arik saat itu mengajak Ajeng untuk
menelaah nilai rapornya selam tiga tahun di SMA. Selain mata pelajaran IPA,
khususnya biologi, Ajeng menonjol di bidang bahasa. Artinya kecerdasan linguistiknya
lebih menonjol dibanding kecerdasan yang lain. Bu Arik juga meminta Ajeng untuk
mengingat-ingat prestasi apa yang pernah ia raih yang ada hubungannya dengan
bahasa semasa sekolah.
Ia harus
mengumpulkan serpihan-serpihan dari long
term memory-nya agar bisa terpanggil menjadi sebuah data yang akurat.
“Iyes!!”
batinnya memekik gembira saat ia mengingat sebuah peristiwa memenangi lomba
cipta dan baca puisi saat SMP, ia terus menarik waktu ke belakang tampak
pemandangan beberapa kali mewakili sekolah untuk lomba mengarang meski hasilnya
belum memuaskan. Bersama tengadahnya tiap malam melalui sholat istikharah
akhirnya ia memutuskan untuk mengambil jurusan sastra Indonesia sebagai salah
satu jurusan yang ia pilih dengan jalur IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran, yang
diujikan capuran antara mata pelajaran yang berbasis IPA dan IPS). Inilah salah
satu istimewanya anak jurusan IPA di era dulu, bisa mengambil jalur IPA dan IPS
sekaligus, berbeda dengan jika saat SMA mengambil jurusan IPS tidak bisa
memgambil jalur IPC untuk tes masuk perguruan tinggi, padahal belum tentu juga
anak jurusan IPA lebih pandai daripada jurusan IPS.
Alhamdulillah,
setelah melewati fase denial akhirnya
Ajeng bisa menerima bahwa saat ini ia adalah salah satu dari mahasiswi jurusan
sastra Indonesia dari salah satu universitas negeri. Ia tak lagi menghiraukan
cibiran tentang jurusannya yang dianggap sebelah mata apalagi memikirkan prestise semata. Ajeng kini adalah Ajeng
yang dengan percaya diri mengatakan bahwa, “This
is me.”
***
Saat ini
siapa yang sangka Ajeng akan menjadi seorang dokter cinta, membersamai para
remaja, muslim dan muslimah, ibu-ibu dari lintas profesi sebagai pemberi
motivasi.
“Hidup
ini sejatinya hanya persinggahan sementara, kita boleh memiliki cita-cita dan mimpi
setinggi-tingginya tetapi yang tidak boleh kita lupa bahwa sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat untuk manusia yang lain.” Mantap Ajeng
menggenggam prinsip ini, semoga kelak ia bisa terus memegangnya hingga nafas
terhenti.
SELESAI
Bumi Aryawiraraja, 20 April 2020
Sumber foto: Pinterest
Sumber foto: Pinterest
CASINO DEAL (Casino de Monte-Carlo Resort & Casino, Spa)
BalasHapusCASINO DEAL 군산 출장마사지 (Casino de Monte-Carlo Resort & Casino, Spa). The 의정부 출장안마 beautiful resort features a 김포 출장마사지 24-hour 논산 출장샵 casino with over 40 table 군산 출장샵 games,