Aku Melamarmu, Haura

Gambar diambil dari Pinterest 


Gaza, 18 November 2019

Haura Annisa

Bidadari bermata jeli, semua orang menjulukiku demikian. Bukan hanya karena nama yang disematkan abi kepadaku, tetapi kenyataannya, aku dikarunia Allah sepasang mata indah nan menawan. Namun, sejak hari ini, saat roket Israel melumat isi rumah dan memuntahkan penghuninya dengan kebiadaban, mataku mendadak memercikkan bara api kebencian yang tak pernah padam, hingga menyusup ke dalam rongga-rongga dada yang paling inci. 

Debu-debu dan darah suci seolah menjadi saksi, bahwa tekadku kini semakin meninggi. Ingin segera kususul para syuhada yang lebih dahulu pergi. Bertemu dengan para bidadari bermata jeli yang menyongsongku dengan wajah berseri. Saat itulah nyawaku telah pergi, jasadku telah mati. Namun, jiwaku tetap hidup bersama para syuhada berpesta di taman surgawi. Ya Rabb, saksikanlah bahwa aku ingin hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Isy kariman aumut syahiidan.


Islamic University of Gaza (IUG), 14 Februari 2020

Muhammad Husein

“Valentine Day?” Haura mengernyitkan dahi, saat aku meminta pendapatnya tentang momentum hari kasih sayang yang jatuh pada hari ini.

Aku seorang relawan kemanusiaan asal negara Indonesia, yang sudah hampir empat tahun bermukim di Gaza. Hari ini aku melakukan interview kepada beberapa mahasiswa. Di antara beberapa mahasiwa dan mahasiwi itu adalah Haura Annisa—muslimah yang memiliki mata menawan serupa bidadari bermata jeli, seperti arti namanya.

“Setiap hari dalam Islam adalah hari kasih sayang. Valentine’s Day itu upaya westernisasi untuk mempengaruhi pemikiran umat Islam,” Haura menambahkan jawabannya dengan lebih bernas. Aura kecantikannnya bertambah bersinar tatkala ia menjawab pertanyaanku dengan smart. 

“Merayakan Valentine’s Day? Tidaklah, karena kami sudah sangat sibuk membebaskan Palestina dan Masjidil Aqsha.”

Bersamaan dengan jawaban terakhir Haura ini, seketika membuat mukaku seperti kepiting rebus. Namun, itu tak lama, karena aku bisa menahannya. Bersamaan dering ponsel yang sejak tadi meraung-raung di saku celanaku. Setelah tombol terima kupastikan tersentuh, aku mendengar suara yang tak asing di telingaku. Menyapaku dari radius ribuan kilometer. Mendadak ingatanku terbang pada masa-masa kami masih bergelar mahasiswa, di sebuah universitas Islam di tanah air tercinta.


Kampus LIPIA, Jakarta 2015

Muhammad Husein

“Apa rencanamu setelah lulus nanti?” tanya seorang kawan.

Pertanyaannya membuatku enggan mengangkat kepala. Bukan karena nasi bungkus andalan yang sedang kunikmati, tetapi karena aku tak ingin niatanku jadi terkotori.

“Kudengar dari adikmu, kau diterima di sebuah universitas Islam di Gaza. Kau sungguh serius ingin terbang ke sana, Bro!”

Aku terbatuk mendengar Hendra sudah sedemikan jauh mengetahui kabarku, yang akan segera terbang ke bumi para nabi itu.

“Kalau di sana kau sudah menemukan bidadari bermata jeli, segera kontak aku, ya. Bukankah rezeki itu harus dibagi? Ha-ha-ha-ha ....”

Sumpah, aku hanya bisa menyumpah-serapahinya dalam hati. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa aku ke sana hanya ingin berburu bidadari bermata jeli? Ah, naif sekali meski aku tahu ia melakukannya hanya untuk mencandaiku. Namun, ada yang mengoyak sisi hati nuraniku yang terdalam. Sungguh gurauannya sangat keterlaluan. Hendra ... Hendra. 


Palestina, 1 Mei 2020

Muhammad Husein

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuhu ...,” tergopoh aku menjawab salamnya. Benar di seberang sana adalah suara yang tak asing lagi di telingaku. Hendra Saputra. Mau apa dia menelponku? Bisik hatiku. 

“Benar ini Husein? Halo, Bro? Kaifa haluki, ya akhi!” Bagaimana kabarmu, ya saudaraku? 

“Alhamdulillah, ana bil khoyr, wa antum brother, Hendra Saputra?” Alhamdulillah kabar saya baik, bagaimana denganmu saudaraku, Hendra Saputra? 

“Ha-ha-ha ... alhamdulillah, ternyata kau masih mengingatku, Husein. Tabarakallah.” 

“Meski nomor teleponmu berganti berkali-kali pun, saat udara mengirimkan suaramu dengan jarak ribuan kilometer, seolah aku tak pernah mengerti kenapa aku masih saja mengingatmu, Akhi!”

“Apakah kau kira aku meneleponmu hanya untuk menagih janji? Ha-ha-ha .... Aku hanya ingin mengabarkan bahwa dua jam yang lalu aku telah tiba di Rumah Sakit Indonesia untuk Palestina. Ayo, sisakan sedikit waktumu untuk kita bertemu, Brother!” 

“Masya Allah, tabarakallah jadi antum ada di sini? Baik, besok selepas zuhur aku ada talaqqi Al-Qur’an bersama Syaikh Al Hamid di Masjid Al Umary. Insyaallah, kita bertemu di sana selepas asar.”

“Iya, aku sekarang dipercaya menjadi penerjemah di sini. Insyaallah, Bro! Sudah tak sabar, nih, aku ingin mendengar kabar sahabat lamaku ini. Barakallahu fiikum.” 

“Sekarang sebaiknya kau beristirahatlah dulu, Akhi. Siapkan energimu jika nanti dalam perjalanan menemuiku, kau bertemu bidadari bermata jeli itu. Atau malah sebaliknya, lebih dahulu bertemu moncong mortir milik tentara Israel. Ha-ha-ha ....”

“Well, sudah impas, kan? Satu sama kita, Bro! Assalamu’alaikum.”

Klik. Ucapan salam itu menyudahi basa-basi ala sahabat yang lama tak berjumpa. 


Masji Al Umary, Gaza, 2 Mei 2020

Hendra Saputra 

Mentari Gaza seumpama mesin penghangat tiap kali musim dingin tiba. Terlihat beberapa jemaah rebahan di lantai masjid termegah kedua setelah Masjidil Aqsha itu, untuk sekadar menghangatkan badan.

Masjid Al Umary dengan luas 4.100 m2, memang hanya sepertiga dibanding luas kompleks Masjidil Aqsha. Aku tertegun, memasuki pintu utama seumpama lorong-lorong pada gua, dengan ornamen serupa stalaktit. Saat menengadah, aku menemukan sebuah lonceng pada menara tempat azan dikumandangkan. 

Masjid ini penuh sejarah. Dahulu kala sebelum menjadi sebuah masjid, bangunan ini adalah sebuah kuil untuk menyembah matahari. Hingga saat Pasukan Salib menguasai, kemudian didirikan sebuah gereja di antara puing-puing yang tersisa. Sampai pada masa Kekhlalifahan Umar. Akhirnya, setelah Syam diambil alih oleh pasukan Muslim melalui jalur Gaza, yang dipimpin oleh panglima Amr bin Ash, bangunan ini pun kemudian beralih fungsi menjadi masjid. Deretan kisah ini sempat kubaca dari sejarah tetang Palestina. 

Seorang mufti mendekatiku, bertanya dari mana aku berasal. Mengulurkan tangan dan menjabat erat jemariku saat beliau tahu kalau aku berdarah Indonesia. Sekonyong-konyong ia menciumiku, bertitip pesan dan berterima kasih untuk seluruh masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan negerinya, Palestina. Ada gemuruh di dadaku. Inilah barangkali yang dinamakan ikatan persaudaraan Islam melebihi ikatan nasab sekali pun.

Aku celingukan mencari Husein di antara para jemaah salat asar. Takjub saat kutahu seorang lelaki muda berwajah Asia, lebih tepatnya Jawa, berjalan dari arah tempat azan dikumandangkan. Muhammad Husein, ia tak berubah. Aku baru tersadar saat ia menepuk pelan bahuku, menarik tanganku, dan menjabatnya erat. Sembari kami berpelukan kemudian, untuk melepas kerinduan.

Selepas salat asar, Husein mengajakku berbincang ringan di sebuah kedai sederhana. Tepatnya di dekat pasar di daerah Gaza City. Kami duduk berhadapan, membincangkan apa saja, hingga aroma menawan dari kudapan khas negeri ini tersajikan. Shawarma  sudah ada di hadapanku, lengkap dengan segelas jus delima yang tak sabar untuk segera kunikmati.

Namun, demi mendengarkan kisah Husein yang belum mencapai klimaks, aku mengurungkannya. Biarlah kutahan sejenak, meski alarm dari perutku sudah memanggil-manggil, tetapi aku mencoba untuk tetap fokus pada ceritanya. 

“Iya, aku sudah memutuskan untuk bergabung bersama pasukan Hamas, Hen.” 

“Kau sudah gila? Apa kau sudah memikirkannya masak-masak?”

“Iya, aku memang sudah gila, gila untuk bertemu Allah dan Rasul-Nya kelak di surga. Tentu saja aku sudah memikirkan dan tahu apa risiko yang harus aku hadapi, Hen.” 

“Tugasmu sebagai relawan kemanusiaan saja apa tidak cukup, Bro?” 

“Semenjak aku memutuskan terbang ke Gaza, aku sudah berniaga dengan-Nya. Bukankah perniagaan dengan Allah dan Rasul-Nya, tak akan ada ruginya?” 

“Benar apa yang kau katakan, tapi apa kau harus menempuh jalan syahid agar perniagaanmu dengan-Nya berbalas surga?”

“Isy karimaan aumut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid. Aku tak ada waktu lagi berdebat denganmu, Bro! Dua hari lagi aku sudah akan menuju daerah perbatasan. Memulai perjuanganku bersama pasukan Hamas. Jadi tak ada gunanya kau mencegahku.”

“Kau? Husein yang kukenal keras kepala, masih sama dan tak berubah ya, ternyata.”

Sembari kutinju bahunya yang kokoh, aku refleks mencomot shawarma yang mulai dingin, tanpa menunggu dipersilakan.

  “Iya, aku memang keras kepala. Aku hanya memohon doamu, semoga Allah senantiasa meluruskan niatanku untuk keputusan yang kuambil ini.”

“Insyaallah, tanpa kau minta pun, Bro. Doa itu selalu ada untukmu. Lalu, bagaimana dengan Haura? Tinggal selangkah lagi kalian akan menjadi pasangan suami istri, kenapa kau malah memilih pergi?”

Selama perjalanan dari Masjid Al Umary tadi, Husein sempat bercerita, hatinya tertambat kepada seorang gadis Palestina. Seorang yatim piatu, putri dari keluarga Abdullah Amran yang beberapa bulan lalu menjadi incaran tentara Israel, hingga berakhir roket meluluhlantakkan rumah sekaligus isinya.

Hanya Haura satu-satunya yang selamat, di antara puing-puing beliung yang menikam ulu hatinya paling dalam. Ia bersumpah kemudian, akan menyusul jiwa-jiwa yang lebih dulu pergi meninggalkannya. 

Haura, bidadari bermata jeli itu. Pesonanya mengalahkan gadis mana pun yang pernah Husein temui di negeri kiblat pertama umat Islam itu. Hingga suatu hari, ia berjanji dalam hati, akan menjaga Haura selama-lamanya.

Langit Gaza memerah lagi bersama aroma mesiu yang tak kunjung berhenti. Husein khusyuk menengadah pada pemilik jagat raya. Hatinya mantap, ia akan pergi selamanya. Meninggalkan tikaman rasa yang pernah bermekaran dalam taman hatinya.

“Aku titipkan ini kepadamu, Hen. Berikan kepada Haura jika saatnya tiba,” Husein memberikan secarik surat dalam amplop merah jambu.

Aku menerimanya dan menimang surat itu berulang kali, sambil menebak-nebak, kira-kira apa isinya. Husein seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Semula jari-jemarinya yang sibuk meremas-remas gelas plastik berisi jus delima itu, kemudian berpindah ke tanganku. 

“Kau akan tahu isinya nanti, jika saatnya tiba. Aku benar-benar memohon padamu. Sampaikan amanahku ini kepadanya,” Husein memalingkan muka bersama embun yang mulai hadir memenuhi pelupuk matanya. 

Aku tak kuasa menahan butiran hangat yang tak tahu diri, tiba-tiba saja jatuh di pipi. Kupeluk erat Husein dan kubisikkan sebuah kalimat. 

“Jangan khawatir, sahabatku, amanahmu insyaallah akan kutunaikan sampai tuntas.”

Malam itu akhirnya kami berpisah dalam suasana penuh keharuan. Kulihat cahaya purnama mengintip perpisahan kami. Seolah turut menitipkan sebuah pesan, bahwa tak ada yang kekal di dunia ini, hingga kelak kaki-kaki kami menapak di surganya-Nya yang abadi.


Rumah Sakit Indonesia untuk Palestina, 12 Mei 2020 

Haura Annisa

Aku memilih duduk di sini, di sebuah ruang tunggu VIP. Menghadap ke arah jendela sebuah rumah sakit megah yang dibangun oleh masyarakat Indonesia. Sebuah surat dalam amplop merah jambu itu masih kugenggam erat, sejak beberapa menit lalu Hendra memberikannya kepadaku.

Aku membukanya pelan dengan tangan bergetar. Kupisahkan amplop merah jambu itu dari isinya. Dengan mengucap basmalah, aku mulai membacanya.

Mataku basah, deras air mata mengalir, hingga kertas yang kugenggam membuat tinta yang tergoreskan memudar. Aku tak kuasa menahan kepedihan yang teramat dalam. Saatnya aku membuat sebuah keputusan. Aku tahu sejak tadi ada sepasang mata dari sosok yang kukenal, tak berhenti mengawasiku dari balik pintu ruangan. Tepat mengarah kepadaku, hingga aku jelas melihat bayangannya.

Aku seka air mataku yang rasanya tak ingin mengering. Aku beranjak dari kursi dan mengetuk sebuah pintu, kemudian mengucapkan salam. Berharap sosok yang mengawasiku dari tadi bergegas membukanya. Dengan tertunduk, aku menyerahkan surat beramplop merah jambu yang basah kuyup oleh air mataku tadi kepada lelaki itu. 

Bahunya terguncang dan menyerahkan kembali surat itu kepadaku. Tangisnya kemudian pecah. Gemintang di matanya seolah meredup. Ia hanya memandangku sekilas dan memintaku untuk meninggalkannya sendirian.


Sepucuk surat cinta teruntuk Haura 

Bismillahirrahmanirrahiim ….

Aku melamarmu, Haura 

di malam saat langit Gaza memerah

dan tengadahku kepada Ar Rahman tunai sudah

kelak akan menjadi saksi perjalanan cinta

untuk menjaga Palestina kita


Aku melamarmu, Haura

bersama dekap hangatnya Al-Qur’an

yang kau lantunkan 

dan gugusan gemintang yang bertaburan

menjaga Al Aqsha dengan penuh kesetiaan 


Aku melamarmu, Haura

untuk seseorang yang kucinta karena-Nya

pemuda salih yang di dadanya dipenuhi bara

akan menemanimu berjuang bersama

membebaskan Palestina: Hendra Saputra


Aku melamarmu, Haura

di antara desing peluru dan roket bercahaya

saat kaubaca suratku, mungkin ragaku

sudah terbang menuju-Nya

tapi, ruhku tidak, yang bersemanyam cinta

pada Palestina

aku berharap kalian bahagia, hingga kelak

kita akan berjumpa di surga-Nya


Kutulis surat ini di subuh yang jingga,

Muhammad Husein 


Bahterahku Tlah Berlabuh (3)



“Memantaskan diri itu bukan untuk dia, tapi untuk Dia.” 


Ceklist memantaskan diri sudah dibuat dan dilaksanakan. Beberapa kajian online pranikah juga sudah diikuti.  Dengan sepenuh kesadaran, karena menikah itu butuh ilmu gak asal laku.


Namun, rupanya hilal yang ditunggu tak kunjung datang. Setelah di cek ulang, lha CV proposal masih tersimpan rapat di laptop dalam folder bernama “my future”. Tibaknya…😄


Di sela aktifitas mengurus organisasi dan penerbitan yang baru rilis, saya sempatkan spill beberapa kandidat ustaz/ah yang memang punya kapasitas untuk saya “titipi” CV proposal. Hanya setelah saya memiliki list kandidat para gurunda kok malah saya yang maju mundur (tanpa cantik) ya. Bahkan untuk memulai membuka komunikasi bab ini saja begitu berat. Ada perasaan malu, saru, wagu, campur aduk jadi satu. Entah apa itu namanya. Yang jelas gak serame rasa permen nano nano kesukaanku. 


Eh pembaca ikut deg-degan juga ya nunggu kelanjutannya? Ecieee…🤭


Eh saya tetiba malah jadi ‘flash back’ ke guyonan Mas Hanif bertahun silam saat masa-masa dianya digoda uti dan tantenya tentang pertanyaan yang kerap kali membuat ia harus segera beralih ke tema lain dengan memilih jawaban pamungkas hingga sukses membuat kami terbahak bersama. 

Salah satunya nih, 

“Sini Nda pinjam HPnya.” 

“Buat apa?” 

“Lho katanya suruh nyariin suami?” 

“Lha apa hubungannya?” 

“Sini tak buka facebook bunda, tak tulis pengumuman: Dicari suami salih buat Bunda Novi. Beres kan?” 

“Grrrrrrr…” Hanif…hanif…

Ada lagi kejadian saat bertamu ke rumah sanak saudara. Saat ditanya hal yang serupa ianya menjawab dengan santai. 

“Iya ini Hanif sedang otw nyarikan bunda suami kok.” 

“Nyari di mana?” 

“Kemarin nyari di shopee yang flash sale dan gratis ongkir eh ternyata sudah sold out.” Wkwkwkkwk…

Ya begitulah Mas Hanif, ia selalu punya cara untuk membuat orang lain bahagia. Tertawa lebih tepatnya. Tak jauh beda dengan almarhum ayahnya. 🥺


Nah, apakah saya akhirnya mengikuti saran Hanif untuk menulis pengumuman di beranda facebook dan mencari di shopee? Ah, hidup memang tak sebercanda itu dan mencari pasangan tak seperti memilih sepasang sepatu di etalase toko. Setelah cocok dan dicoba pas di kaki, bayar. Selesai. 


Jika kondisinya mentok demikian, lalu ke mana muara segala harap selain hanya kepada Allah? 

Ya, saya memutuskan untuk memperkut lagi doa, memohon petunjuk untuk memasrahkan CV proposal ke orang yang benar-benar tepat. Bismillah…dalam sujud panjang saya pungkasi permintaan ini. 


Bersambung ke bagian 4 😉

Bahterahku Tlah Berlabuh (2)


“Jodoh itu bukan perkara kini atau nanti, tetapi perkara keimanan kepada-Nya sepenuh hati.”  



Mendapat lampu hijau dari Mas Hanif sebenarnya bukan satu-satunya alasan untuk saya akhirnya memutuskan mengakhiri kesendirian. Lebih dari itu, saya menikah untuk beribadah. Meski jauh sebelum keputusan ini dibuat pun pernak pernik yang Allah sajikan sungguh luar biasa. Hingga saya harus mengakui bahwa hidup sendiri itu berat, bestie. 😄

Tapi sekali lagi keputusan saya bukan karena “ninaninu” fitnah ini itu yang para ‘single fighter’ pastilah paham dengan yang saya maksud. Laa haula walaa quwwata illah billah…


Kembali pada bab nikah ibadah tadi, yang tentu kita semua tahu akan dihadapkan dengan 2 konsekuensi. Di usia yang tidak muda lagi tentu saja saya sudah memahami bahwa dunia pernikahan tidak sepenuhnya berisi taman bunga tanpa duri, sebaliknya Allah menyajikan keduanya agar ketika kita diuji dengan kesenangan maka kita diminta untuk bersyukur. Sebaliknya, jika diuji dengan kesedihan kita diminta untuk bersabar. 


Ujian kesabaran itu dimulai, saat beberapa teman dekat menawarakan proposal biodata ikhwan. Namun, dalam perjalannya saya menggapnya bagian dari ikhtiar yang masih belum di acc oleh-Nya. Yang penting khusnudzon terus sama Allah. 


Ujian kesabaran berikutnya saya merasakan keengganan yang luar biasa untuk menulis lagi proposal CV yang harusnya setiap tiga bulan sekali harus di ‘update’ gitu ya- ini mah pengalaman karena beberapa kali diminta bantu memproses binaan.🤭


Hingga saya tersadar saat ibuk bertanya kepada saya sudah sampai mana ikhtiar saya? Deg, saya cuma bisa bilang, 

“Belum nulis proposal lagi, Buk. Males.” 

“Lah, trus jodoh bisa turun sendiri dari langit kalau kamu gak ikhtiar?” 

Skakmat. 

Hingga siang itu, saya pun akhirnya ‘agak’ terpaksa menulis CV proposal. Ibuk sampai nunggui dan duduk di samping saya untuk memastikan bahwa saya benar-benar menyelesaikannya hari itu juga. Ya rabb..


Selanjutnya CV proposal yang masih “fresh from the oven” eh from laptop harus saya serahkan kepada pihak yang ‘berwajib’. Hehehehe…

Hingga sebulan kemudian chat masuk ke aplikasi washapp saya, 

“Dik, sepertinya di sini belum ada stok yang sekufu dengan anti. Ana sudah berusaha tapi nampaknya belum nemu.” 

Kira-kira kurang lebih begitulah kalimat sang gurunda. 

“Kalau begitu bolehkah ana ikhtiar di luar Lumajang, ustazah?” 

“Monggo.” Singkat, padat, dan jelas jawaban beliau. 

Tapi berikutnya saya malah bingung, karena menawarakan CV proposal diri tidak seperti bakulan gorengan, gombalan, produk kecantikan dan buku bacaan. Huhuhu…


Bersambung ke bagian 3.😌

 

📸inframe: Mas Hanif dan Abi 😊

Bahterahku Tlah Berlabuh (1)



Pernikahan yang kita semua tahu adalah ibadah terlama bagi sepasang manusia akhirnya tertunaikan sudah. Memutuskan untuk menikah (lagi) setelah 9 tahun sendiri bukan tanpa sebab. Sebagian teman-teman bahkan (mungkin) bertanya-tanya. 
“Bunda Novi menikah?” 
“Sama siapa?” 
“Orang mana?” 
Bahkan ada yang ekstrem bertanya, 
“Akhirnya laku juga, Bund? Ternyata ada ya yang mau sama kamu?” 😄

Baiklah, bismillah saya coba untuk mengurainya dalam sebuah kisah. Eaaa…

Kisah ini dimulai saat Mas Hanif akan berangkat mondok. Tiga hari sebelum hari pemberangkatan tetiba ia mengajak saya berdialog mesra, bahkan sangat mesra dengan atmosfer syahdu yang memenuhi ruang kamarnya yang temaram malam itu.
Saya yang sedang sibuk memilah pakaiannya di lemari untuk dipindahkan ke dalam koper harus terhenti dengan kalimatnya yang penuh permohonan dan gaya sok metuweknya itu membuat saya sejenak mengalihkan pandangan. 

“Nda, duduk sini Hanif mau ngomong serius sama Bunda.” 
“Heh? Serius opo, Mas?” Sampai di sini terasa kan bagaimana anak saya yang waktu itu masih akan beranjak usia 13 tahun sungguh sangat metuwek. 
“Bunda duduk sini dulu ta, beneran ini Hanif mau ngomong serius.” 
Sampai di sini saya berkelakar untuk menguji keseriusannya. 
“Halah serius opo tho, Nif? Kamu itu ada-ada saja. Emoh Bunda masih mau menyelesaikan menata baju-bajumu ini lho.” 
“Bunda lak mesti. Lihat Hanif sini, Hanif benar-benar serius mau ngomong sama Bunda ini.” Eh, wajahnya tampak memohon dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Itu artinya, saya harus segera menghampirinya, duduk tepat di sampingnya seperti yang ia minta. 
Dengan penuh perhatian saya kemudian mempersilakan Mas Hanif bicara yang katanya “serius” itu. 
“Nda, tiga hari lagi Hanif berangkat seleksi ke Gontor. Kalau Hanif nanti diterima mondok di Gontor, Bunda lak sendirian ya? Beberapa hari ini Hanif kepikiran. Setiap mau tidur Hanif mikir Bunda.” Metuwek mode on lagi deh pikir saya dalam hati. Tapi kali ini kok rasane “nyes” ya nang ati. 

Sembari menimpali keresahannya dengan sebuah kalimat, 
“Trus kenapa, Le? Bunda gak sendirian kok. Ada Allah yang selalu membersamai.” Uhuk kali ini saya memberikan jawaban yang sok bijak padahal asline yo pingin mak byor ae banyu moto iki*

Ya Hanif tahu ada Allah. Tapi bukan itu maksudku.” 
“Trus gimana-gimana maksudmu?” 
“Ya Hanif khawatir Bunda sendirian. Kan biasanya Hanif yang jagain Bunda.” 
“Oh itu. Santai, Le. Toh, bentar lagi Bunda juga balik ke rumah Uti dan Kung. Nah, berarti Bunda gak akan sendirian kan?” 
“Duh Bunda bukan itu maksud Hanif.” Tetiba air matanya tumpah. Eh Hanif nangis. 
“Hanif cuma mau bilang, Hanif in sya Allah rida kalau Bunda menikah lagi, Hanif sudah ikhlas, Nda. Hanif gak mau lihat Bunda sedih, lihat Bunda sendirian, dan gak ada yang jagain.” Ya rabb, jadi daritadi ngajak ngomong serius itu maksudnya ini? Allahu rabbi…

Malam itu pun kami berdua berpelukan erat sambil bertangisan. Meski biasaya dia sebagai lelaki agak gengsi kalau menumpahkan air matanya berlebihan sampai sesenggukan tapi malam ini berbeda. 

Dialog malam itu begitu menghati. Saya menutupnya dengan candaan ringan seputar kriteria ayah yang ia inginkan. Setelahnya saya terus memasrahkan hati, beristikharah meminta petunjuk-Nya yang maha kasih. 

Bersambung ke bagian 2 

📸Foto candid hanya pemanis, bidikan fotografer kece Pak Su Mbak @umihanikumi saat menghadiri tasyakuran pernikahan putra Ustaz @satriahadilubis yang sayang kalau tidak diabadikan disertai tulisan.

MEMUPUK EMPATI MENJADI RELAWAN INSPIRASI

 


Edisi syuting video edukasi covid-19 di sekitar Desber

Masa Kecil yang 'Aneh' 
Saya selalu tak kuasa, melihat ketimpangan sosial dan ekonomi di sekitar lingkungan tempat saya tinggal. Meski tidak terlahir dari keluarga berada, tetapi saya masih lebih bersyukur atas kondisi keluarga saya yang terbilang cukup menurut saya. Bahkan sejak kecil, ibu seringkali menemukan saya dalam kondisi menangis tersedu-sedu saat melihat anak tetangga sakit. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD, sepulang mengaji di surau, saya menyaksikan seorang anak tetangga yang sedang batuk nggak berhenti-henti sampai matanya memerah dan nampak napasnya berat. Entah mengapa ketika saya berhenti di depan pintu rumahnya, menyaksikan semua pemandangan itu termasuk ceracau orang tuanya yang tak berhenti mengomeli sang anak karena tak sanggup membelikannya sirup obat batuk rasa cerry di apotek terdekat seperti yang biasa saya minum. 
"Oalah, Nduk...Nduk tak pikir kowe dijiwitt karo Nanang." – Oalah, Nduk...Nduk...saya pikir kamu dicubit Nanang. Begitu komentar ibu memungkasi tangisan saya yang mirip anak baru dicubit. Nanang adalah tetangga belakang rumah saya yang nakalnya nggak ketulungan. 

Setelah itu ibu pasti memeluk saya erat, sambil merapikan ujung-ujung rambut saya yang basah oleh air mata. Selanjutnya, ibu pasti bercerita tentang hal-hal yang membuat saya terpaksa melengkungkan bibir hingga kemudian tak sadar ikut tertawa. Tapi setelah itu masih saja kepikiran nasib anak yang batuk-batuk tadi. Dulu, bulek yang tinggal serumah dengan kami selalu menganggap saya aneh saat menangis yang menurutnya nggak jelas. Hanya almarhum pakde yang suka membela, "Arek iki ngono atine alus." –anak ini memang hatinya halus. sambil menghadiahi saya seplastik kiloan pentol bakso disertai kecupan dan gendongan sesaat. So sweet... 

 Menjadi Relawan Pengajar TPA 
Saat saya menjadi mahasiswi saya terpanggil untuk menjadi relawan di sebuah yayasan sosial di kota Malang. Ikut turun mengajar TPA di kampung yang masuk gang sempit, tepatnya di daerah Kelurahan Kidul Dalem. Di sana terdapat sebuah musala yang berada di atas genteng rumah orang. Masya Allah, jika mengingat hal itu tak terasa butiran bening tiba-tiba jatuh. Pun, kerasnya karakter orang di sana membuat saya bergidik. Apalagi setelah kernet angkot bertanya kepada saya, mengapa saya sering turun di depan gang yang menurut penuturan kernet itu adalah kampung preman. 

Namun, hal yang saya perkirakan tak pernah terjadi seperti penuturan kernet angkot itu bahkan saya merasa memiliki keluarga baru. Tak jarang mereka ikut mengajak saya untuk sekedar mencicipi makan siang saat saya kebetulan singgah di rumah petak salah satu keluarga yang hanya memilki satu ruangan serba guna, 5 in 1 kalau boleh saya bilang. Di ruang petak 3x2m itulah mereka menjalani aktifitas sehari-hari. Ruangan itu benar-benar multifungsi sebagai ruang tamu, tempat tidur, dapur, sampai tempat makan sekaligus.

Lalu bagaimana dengan kamar mandi? Mereka bisanya melakukan MCK di kamar mandi umum yang terbatas hanya 2 kamar mandi untuk hampir 30-an lebih kepala keluarga. Ya rabb, saya sering sedih kalau mengingat hal ini, tetapi terkadang juga senyum-senyum sendiri saat harus rela menahan rasa ingin buang air kecil karena harus mengantri. Eh, adik-adik TPA malah menyarankan saya untuk buang air kecil di sungai, hahahaha... 

Sampai salah satu dari mereka dengan logat Malang melotot ke teman-temannya atas tawaran temannya tersebut. "Kok iso lho arek iki, Mbak e kan pake kerudung gedhe gitu kon kongkon nang kali. Mikiro ta awakmu rek!"-Kok bisa sih anak-anak ini menyuruh Mbak yang memakai jilbab besar buang air di sungai. Mikir dong. Jadi merasa konyol kalau mengingat ini. Wkwkwkwkw... 

Tak hanya itu, meski masih mahasiswi semester dua saya juga menjadi tempat curhat para ibu dari adik-adik TPA yang saya ajar. Dari mulai soal kenakalan anaknya sampai masalah tanggungan hutang konsumsi sehari-hari mereka tak canggung menceritakan. Saya juga heran, di masa itu hidup saya benar-benar berwarna sampai pernah harus bolak-balik empat kali naik angkot demi mengurus uang SPP salah satu siswa yang terancam dikeluarkan dari sekolahnya dan sendirian pula datang ke sekolahnya sampai saya dikira kakaknya. Duh, kemana gerangan sekarang sosok anak itu ya? 
Semoga jadi manusia yang bermanfaat dunya wal akhirah. Amin...
Aktifitas sosial bersama si rompi biru
 
Mindset: Relawan Bukan Pekerjaan 
Pada tahun 2015 silam saya tak pernah berpikir untuk menjadikan profesi relawan ini menjadi sebuah pekerjaan. Hingga pada suatu hari seorang teman menawari saya untuk menjadi petugas entry data ZISWAF selama bulan Ramadhan di sebuah lembaga sosial PKPU. Pasca Ramadhan saya diminta untuk kembali ke lembaga tersebut karena direktur dan pihak lemsos merasa 'puas' dengan kinerja saya, katanya sih begitu. Heu...heu..heu...terharu. 

Di lembaga ini saya benar-benar belajar dari nol. Karena saya tak pernah punya pengalaman sebelumnya bekerja di sebuah lembaga sosial. Adapun saya pernah menjadi relawan hanya sebagai tenaga lepas yang tidak ikut campur dalam hal menajemen. Namun, saat ini saya harus ikut memikirkan manajemen pengelolaan donatur dengan membuat sebuah program yang menarik agar menjadi donatur tetap. Nah, sungguh tantangan baru buat saya. Saya menemukan keseruan saat bisa bersentuhan dengan kaum menengah ke bawah yang membutuhkan uluran tangan. Keseruan itu juga saya rasakan saat Ramadhan. Kami berkeliling ke pelosok-pelosok kampung dan desa untuk mendistribusikan zakat dari para donatur ke masyarakat langsung. Jika di sepuluh hari terkahir Ramadhan teman-teman pada khusyu' i'tikaf di masjid, berbeda dengan kami yang masih harus rela lembur sampai pagi untuk menuntaskan laporan setoran ZIZWAF ke kantor wilayah. Hal ini kadang membuat orang-orang di sekitar saya gerah, bahkan seringkali nyeletuk begini, "Emang berapa sih gajimu kerja di situ?" Wajar mereka berkata seperti itu karena melihat aktifitas saya yang tak pernah ada "matinya". Kalau diibaratkan baterai, mungkin menurut mereka saya ini jenis baterai energizer. Uhuy... 

Perlu digarisbawahi bahwa relawan itu bukan sebuah pekerjaan, tetapi lebih pada panggilan hati. Air mata saya menderas saat mengatakan ini, bukan tanpa sebab bahkan pernah malam-malam rumah saya diketuk oleh seorang warga RW sebelah. Saat itu saya masih tinggal bersama orang tua, beliau kaget saat tengah malam mendapati anaknya ada yang mencari, seorang laki-laki asing bertato. Serem kan?
Kolaborasi PKPU dengan YBM BRI untuk sebuah even perdana yang bertempat di pendopo Kabupaten Lumajang

Ibu dan bapak menerimanya dengan ragu dan penuh kehati-hatian, kemudian bertanya tentang apa keperluannya sampai tengah malam harus datang ke rumah. Bahunya yang kokoh terguncang, ia bercerita dengan menahan tangis, ia bertutur bahwa istrinya sedang tergolek kritis di RSUD Haryoto akibat kanker payudara stadiun empat yang diderita sejak lama tetapi baru ketahuan beberapa bulan ini. Ia mengaku mendapatkan info dari tukang becak di perempatan kantor untuk menghubungi saya sebagai karyawan yang bekerja di sana untuk meminta bantuan sejumlah dana agar bisa merujuk sang istri ke RSUD Dr. Sutomo, Surabaya. Allahu rabbi, sampai hari ini ianya masih suka tersenyum dan menyapa saya saat ketemu di jalan dengan panggilan khasnya, "Mbak PKPU." 

Mengenangnya membuat saya lagi-lagi bersyukur bisa membersamai orang-orang yang membutuhkan meski berakhir sang istri kemudian menghembuskan nafas terakhir pasca operasi beberapa bulan setelahnya. Tetapi ada rasa lega yang menjalari, bahwa kita masih bisa memberi kontribusi. 

Relawan Inpirasi Rumah Zakat dan 'Paksaan' Ammah Hida 
Pasca saya resign di tahun 2016 dari lembaga sosial PKPU karena ingin fokus menulis, membuat saya tetap ingin bersentuhan dengan dunia sosial. Karena mindset yang saya bagun sejak awal bahwa relawan bukanlah pekerjaan namun sebuah panggilan hati. Saya hanya resign dari manajemennya, untuk relawan lepas saya masih terlibat menjadi penyalur dan merawat para donatur.
Kolaborasi Yayasan Cendekia Taka bersama IZI Tarakan 

Saat saya merantau ke Kabupaten Bulungan pun, saya juga dipertemukan dengan teman-teman PKPU di sana. Kami secara kelembagaan di sebuah SD Islam Terpadu melakukan kerja sama dengan IZI untuk mengisisiasi program Ramadhan. Allah selalu punya cara agar saya tidak boleh jauh dari dunia kerelawanan. Sampai di penghujung tahun 2018, Ammah Hida seorang RI (Relawan Inspirasi) asal Ponorogo yang kiprahnya saya kenal dalam dunia trainer dan motivator ini memberikan informasi tentang rekruitmen RI baru dari rumah zakat dengan kalimat penuh rayuan via aplikasi watshapp. 

Beliau mengatakan kepada saya bahwa saya harus mencoba untuk mendaftar. Karena saat itu saya sedang mengerjakan banyak proyek even, jadilah saya hanya memandangi kalimatnya dalam layar gawai sembari galau harus memberikan jawaban apa. Hingga meluncurlah sebuah kalimat panjang lebar yang saya tulis dengan penuh kejujuran dan berakhir saya tekan tombol send, berharap beliau tak lagi memberikan balasan. Di luar ekspektasi, beliau menjawabnya demikian, 
"Mungkin bukan sekarang, tapi mudah-mudahan lain waktu semoga menjadi rezeki antum untuk bisa bergabung menjadi RI yang tangguh dari Lumajang." Skak Mat. 
Saya tak bisa berkata apa-apa selain hanya membalasnya dengan sebuah kalimat singka, "Amin..." 

Berbilang bulan setelahnya Allah mengijabah kalimat singkat saya tersebut. Persis di bulan November tahun 2018 saya resmi menjadi seorang RI yang kemana-mana harus memakai rompi oren khas rumah zakat. Bukan untuk gaya-gayaan tetapi itu sudah menjadi SOP yang harus saya jalankan. Meski kadang di jalan-jalan kampung ada yang galfok menyebut saya "Pahlawan Pembebas Hutang." Duh...duh...duh... 
Memutuskan menjadi relawan bukan tanpa sebab, selain panggilan hati saya meyakini ketika saya berinteraksi dengan berbagai jenis manusia dari beragam tingkat sosial dan ekonomi, akan dapat memupuk empati saya menjadi pribadi yang lebih peka. Meski memupuk empati ini tidak harus menunggu menjadi relawan. 
Pupuklah empati dengan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya apapun profesi kita. 

Wallahu a'lam bishowab...

25 Hari Bersamamu




















Duhai kekasih, 
Terima kasih sudah memilihku
Tepat 25 hari lalu
Mitsaqan ghalza tersimpul dalam ikrar qabiltu 
Luruh bersama tangis bidadarimu di sisiku

Allah, inilah takdir terindah-Mu

Kekasihku, 
25 hari memang telah berlalu 
Lekas menginjak bumi dan turun dari
langit yang dielu-elukan katamu 
Tugas sebagai istri telah menunggu 

Kekasihku, 
25 hari aku mengenalmu 
Bukan tanpa cela dan keliru
Terselip doa pada munajat cintaku
Allah kirimkanmu, kekasihku 

kekasihku, 
25 hari hanya hitungan waktu
yang kucumbu mesra tanpa henti 
Menghitung hari-hariku 
Bersamamu bagai mereguk manisnya madu 
Nyatanya pahitnya adalah penyembuh 
Sabar dan syukur adalah penawar
Rida dan ikhlasnya jihad 

Semoga sakinah bersamamu
Bersauh bersama dalam bahtera
Menuju cita tertinggi 
Jannah-Nya yang terindah 

Tangsel yang syahdu, 29 Januar 2022 


Senja yang Fajar

 Senja itu aku

Fajarnya kamu

Tak untuk dimiliki 

Tak jua memiliki 

Hanya dititipi 


(sajak) untuk, 

Senja yang Fajar 

Tangsel, 2 Februari 2022

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *