Suamimu Bukan Suamiku



“Kapanpun jika anti siap, sungguh dari lubuk hari terdalam ana berharap anti berkenan menjadi partner ana.”

Adakah karena cinta seseorang kepada saudaranya ianya rela mempersembahkan apa yang dimilikinya? Bahkan yang paling berharga sekalipun?
Tersebutlah sebuah kisah saat Rasulullah hijrah ke Madinah yang sangat lekat dalam ingatan saya. Sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah yang di-taakhi-kan (dipersaudarakan) oleh Rasulullah. Dialah Abdurrahman bin Auf dari kaum Muhajirin dan Saad bin Rabi Al-Anshari dari kaum Anshar. Abdurahman bin Auf  adalah seorang saudagar kaya raya, karena ikut berhijrah bersama Rasulullah ianya rela meninggalkan harta kekayaannya yang melimpah ruah. Sementara, Sa’ad bin Rabi Al-Anshari adalah seorang hartawan termasyur di Madinah. Siapa yang tak mengenal sosoknya. Berlimpahnya kekayaan yang ia miliki: perniagaan, tanah pertanian hingga istri yang paling cantik pun kemudian ia tawarkan kepada Abdurrahman bin Auf sang saudara seiman. Akan tetapi, alih-alih memilih satu di antara ketiga kenikmatan duniawi yang ditawarkan, sebaliknya Abdurrahaman bi Auf hanya memiliki pinta sederhana kepada sahabatnya,
 “Tunjukkan kepadaku di mana letak pasar!”
Sederhana, bukan? Tetapi ternyata disebaliknya ada buah cinta dari keimanan yang tumbuh subur dipupuk dengan sepenuh keyakinan atas ikrar suci dua kalimah syahadat yang terpatri memenuhi relung-relung hati.
“Partner?” saya tak berani memaknai satu kata ini. Mendadak otak saya jadi loading lambat. Seketika punggung tangannya yang terlihat kuat dan kekar meraih tangan saya, menangkupkannya pada sela-sela jemarinya. Terisak ianya mengungkapkan luapan cinta kepada saya yang sangat berlimpah karenaNya.
“Suamiku untukmu, saudaraku,” kembali ia memberikan penjelasan dari kalimat singkat yang ia ucapkan dengan bergetar, tetapi terasa begitu menghati ketulusannya menjalari.
Saya hanya mampu tertunduk, tak sepatah kata pun mampu terucap hanya lelehan air mata yang kemudian tak henti menderas.

Sahabat Rasa Surga

“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS.8:63)

Persahaban kami bermula karena kami lahir dari rahim ukhuwah. Rasa cinta yang hadir kami yakini buah dari keimanan yang Allah tanamkan di dalam hati-hati kami. Empat tahun lalu kami bertemu begitu saja tanpa kesan. Saya mengenalnya sebagai sosok muslimah yang tegas dan terkesan jutek. Namun, penilaian itu seakan menguap ditelan waktu saat sapaan hangat dan dekapan erat dalam momen silaturahim cinta mempertemukan kami kembali kala itu. Hati tak pernah bisa dibohongi, ada desir ketulusan yang saya rasakan. Bahkan ketulusannya melebihi yang saya kira. Begitu melimpah ruah. Lebih dari yang biasanya ditawarkan saudara serahim ukhuwah.
Selain itu, pernah berstatus menjadi seorang janda menjadi salah satu deret alasan kedekatan kami. Tak dipungkiri saya belajar banyak hal darinya termasuk belajar hidup. Mulitple fraktur yang saya alami pasca peristiwa kecelakaan bersama putra dan almarhum suami membuat saya tidak seoptimal dulu dalam beraktifitas sehari-hari. Beberapa kali tindakan operasi belum membuat kondisi saya kembali membaik. Harus saya akui saya tak lagi bisa seaktif dulu. Sementara ghirah saya untuk banyak berbuat dan bermanfaat dalam dakwah semakin besar. Kepergian suami saya seolah membuat saya harus mengejar ketertinggalan saya dalam menabung amal kebaikan ditengah melimpahnya tabungan dosa yang terus bertambah seiring bertambahnya usia. Saya malu jika saudara-saudara saya memberikan permakluman atas kondisi saya dalam aktifitas dakwah padahal jika dibandingkan dengan Syeikh Ahmad Yasin sang pejuang Hamas bertambahlah malu saya dengan sempurna, karena apa yang saya alami belumlah seberapa. Bersamanya di jalan dakwah ini saya seolah menemukan ‘shoulmate’ sejati saya. Seperti sebuah pepatah bijak, sahabat itu bukan hanya seseorang yang bisa diajak untuk menghabiskan waktu bersama tetapi ianya senantiasa mengingatkanmu pada pahala dan surga. Bersamanya, saya merasakan aroma surga.

Ada Apa dengan Status Janda?

Allah tidak akan begitu saja membiarkan makhlukNya mengatakan dia beriman sebelum ia diuji. Ujian itu seolah hadir mengakrabi diri dengan bertubi-tubi. Proses pengobatan yang belum juga usai dalam ikhtiar optimal menyuguhkan pernik-pernik ujian hati yang harus terus belajar disyukuri dan disabari sekaligus. Tiga puluh satu tahun usia saya saat itu. Suami yang selisih usianya tiga tahun lebih muda dari saya meninggalkan saya sendiri untuk melanjutkan episode hidup dari skenario yang telah Allah buat. Sedih. Tentu saja, sebuah ungkapan perasaan yang wajar untuk  seorang manusia biasa seperti saya. Meski berthun-tahun ter-tsibghoh dalam tarbiyah islam tak lalu membuat saya tak pernah bersedih bahkan mengeluh. Sebaliknya, itu adalah kewajaran yang ada pada setiap manusia, hanya kadarnya yang berbeda-beda pada setiap orang.
Bertekad menjadi muslimah yang memiliki semangat untuk terus memperbaiki diri adalah cita-cita yang senantisa saya genggam erat. Menutup aurat dengan benar dan berakhlaq mulia adalah bekal yang terus saya bawa dalam bermuamalah di lingkungan masyarakat maupun komunitas tarbiyah. Hanya ternyata betapapun saya secara dhohir berupaya untuk berperilaku sewajarnya selayaknya wanita tak bersuami, masyarakat seolah masih saja memandang saya sebelah mata hanya karena saya berstatus yang janda. Image di masyarakat sudah terlanjur demikian lekat dengan ketidakbaikan yang menyertai status ini perlahan membuat saya mencoba untuk memahami dan menerima ketidakadilan ini. Saya yang tanpa ilmu ini tak ingin tergesa menyimpulkan terlebih menghakimi bahwa ini akibat ulah segelintir wanita yang kebetulan berstatus sama dengan saya. Hinga akhirnya menjadi sebuah tanya yang semakin membesar dalam benak: “Ada apa dengan status janda?”
Flash back…
Rangkaian kalimat nasehat yang bernada sumpah serapah memenuhi inbox BBM saya tanpa ampun. Di pagi dhuha itu hanya helaan nafas panjang dan dalam memenuhi rongga alveoli saya beberapa kali. Terlihat notifikasi ‘mengetik’ dari pengirim yang sama. Ya rabb, ada jeda sepersekian sekon untuk kemudian saya mencoba cooling down sementara. Dalam kondisi hati bergemuruh, tak baik jika saya membalasnya dengan sikap yang sama. Bukankah hadiah terbaik untuk seseorang yang menyakiti kita adalah dengan membalasnya dengan kebaikan yang sempurna? Tersenyum, langkah itu yang kemudian dengan sadar saya ambil sambil terus beristigfar dan berusaha menata hati untuk menghadapi kenyatan pahit ini.
Bukan yang pertama kali, beberapa lelaki modus dan php juga tak segan bertindak selayaknya kanak-kanak yang mengibuli para ‘ababil’ (abg labil) dengan menyuguhkan chit chat yang tak pernah jelas arah maksud dan tujuannya. Hingga ada satu di antara para istri menumpahkan kecemburuannya kepada saya. Astaghfirullah…
Dan yang sangat menguji kelapangan dalam bingkai keimanan adalah kenyataan pahit bahwa sebagian dari meraka adalah saudara-saudara saya yang lahir dari rahim ukhuwah. Ya rabb, betapa ujian hati ini benar-benar menguras energi untuk terus mengkhusnudzoni saudara sendiri dengan mencari seribu satu alasan bahwa dalam diri merekalah berlimpah berjuta kebaikan.
Ada apa dengan status janda? Masih saja menyisakan tanya. Ianya kemudian saya coba kubur dalam-dalam saat sahabat rasa surga hadir menguatkan saya. Darinya saya banyak belajar dan tak lagi bertanya dan mempertanyakan lagi status ini. Yang saya lakukan kemudian melangitkan syukur atas status yang saya sandang sekarang ini. Berpikir out of the box bahwa Allah sedang mendidik saya untuk terus belajar bersabar dari setiap ujian yang Dia hadirkan.

Surga yang (Tak) Dirindukan

Tema poligami seolah menjadi topik paling panas hingga kini untuk dibahas baik online maupun offline, di forum-forum pengajian umum hingga di kafe-kafe tempat berkumpul para emak sosialihah. Pun ditambah bumbu-bumbu penyedap menjadikan kelompok pro dan kontra menjadi tak lagi bersahabat. Apalagi jika pelakunya adalah public figure yang menjadi idola se-Indonesia raya, pasti tuh rame jadi bahan berita infotainment yang tak lebih dari sebuah tayangan ghibahtainment terselubung. Astaghfitullah…
Nah, lho? Lalu adakah saya ikut-ikutan latah memperdebatkannya sampai adu otot bahkan jotos? Tentu saja tidak. Hanya menghabiskan energi dan membuang waktu sia-sia untuk ikut nimbrung bahkan sekedar komen di akun social media milik para pelaku utama. Kosakata pelakor dan pebinor yang baru-baru ini ‘booming’ seolah menjadi sebuah informasi sampah yang seharusnya kita counter dengan info-info yang lebih bermutu dan mencerdaskan para kaum ibu. Sehingga pikiran mereka tak lagi terkotori hingga menjadikan mereka selalu was-was dan cemburu buta pada pasangannya. Sebaik-baik penjagaan sesungguhnya adalah penjagaan dariNya. Nah, karenanya kenapa kita tidak memilih men-share info seputar menjadi wanita perindu surga saja daripada berita-berita yang membuat nalar tak lagi berfungsi semestinya?
Sebagai seorang wanita, jika ada yang bertanya kepada saya bagaimana jika ternyata saya ada di posisi mereka? Dipoligami misalnya? Bagaimana sikap saya? Karenanya saya mencoba berbagi kisah ini agar kita semua menjadi para wanita yang pandai mengambil hikmah. Bismillah…
Malam itu kembali kami berdua bertangisan. Lebih tepatnya ia menangisi saya yang sedang tergolek lemah tak berdaya di atas tilam berwarna biru tua. Hari itu kondisi tubuh saya nge-drop hebat, demam beberapa hari dengan suhu tinggi yang terus turun naik tak terkendali. Ibunda yang terpisah samudera harus rela dihadirkan demi anaknya yang lemah tanpa sanak saudara, kecuali sahabat rasa surga sekeluarga yang selalu setia membersamainya. Dan, sesekali dalam jeda merawat saya yang membisu kaku lagi-lagi ia tawarkan solusi itu.
“Berpartner akan lebih indah dan sempurna, bagaimana?”, kali ini sungguh saya tak menemukan sedikitpun dari sorat matanya keragu-raguan.
“Nduk, semakin hari usia ibumu ini makin bertambah tua. Bersyukur saat ini Allah masih karuniakan kesehatan. Teman-teman sebaya ibu di kampung sudah pada sakit-sakitan bahkan beberapanya sudah tak berumur panjang. Ibumu ini hanya nunggu giliran, makanya kamu sekarang mulai berpikirlah untuk berumah tangga lagi.” Pitutur ibu sore itu seolah menjadi sebuah pukulan palu godam yang kemudian menjadikan kepala ini tak lagi ringan.
Masih basah. Baru beberapa hari lalu tawaran itu seolah berlalu, tetapi tidak pada pikiran dan perasaan saya yang campur aduk jadi satu. Sebagaimana halnya Abdurrahman bin Auf, permintaan saya hanya satu: “carilah saya jika kelak tak bersamamu di surga.”

Lumajang di akhir Oktober yang tak kunjung basah, berbeda dengan mataku yang kian membasah saat aku berkisah.































Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *