Aku Melamarmu, Haura

Gambar diambil dari Pinterest 


Gaza, 18 November 2019

Haura Annisa

Bidadari bermata jeli, semua orang menjulukiku demikian. Bukan hanya karena nama yang disematkan abi kepadaku, tetapi kenyataannya, aku dikarunia Allah sepasang mata indah nan menawan. Namun, sejak hari ini, saat roket Israel melumat isi rumah dan memuntahkan penghuninya dengan kebiadaban, mataku mendadak memercikkan bara api kebencian yang tak pernah padam, hingga menyusup ke dalam rongga-rongga dada yang paling inci. 

Debu-debu dan darah suci seolah menjadi saksi, bahwa tekadku kini semakin meninggi. Ingin segera kususul para syuhada yang lebih dahulu pergi. Bertemu dengan para bidadari bermata jeli yang menyongsongku dengan wajah berseri. Saat itulah nyawaku telah pergi, jasadku telah mati. Namun, jiwaku tetap hidup bersama para syuhada berpesta di taman surgawi. Ya Rabb, saksikanlah bahwa aku ingin hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Isy kariman aumut syahiidan.


Islamic University of Gaza (IUG), 14 Februari 2020

Muhammad Husein

“Valentine Day?” Haura mengernyitkan dahi, saat aku meminta pendapatnya tentang momentum hari kasih sayang yang jatuh pada hari ini.

Aku seorang relawan kemanusiaan asal negara Indonesia, yang sudah hampir empat tahun bermukim di Gaza. Hari ini aku melakukan interview kepada beberapa mahasiswa. Di antara beberapa mahasiwa dan mahasiwi itu adalah Haura Annisa—muslimah yang memiliki mata menawan serupa bidadari bermata jeli, seperti arti namanya.

“Setiap hari dalam Islam adalah hari kasih sayang. Valentine’s Day itu upaya westernisasi untuk mempengaruhi pemikiran umat Islam,” Haura menambahkan jawabannya dengan lebih bernas. Aura kecantikannnya bertambah bersinar tatkala ia menjawab pertanyaanku dengan smart. 

“Merayakan Valentine’s Day? Tidaklah, karena kami sudah sangat sibuk membebaskan Palestina dan Masjidil Aqsha.”

Bersamaan dengan jawaban terakhir Haura ini, seketika membuat mukaku seperti kepiting rebus. Namun, itu tak lama, karena aku bisa menahannya. Bersamaan dering ponsel yang sejak tadi meraung-raung di saku celanaku. Setelah tombol terima kupastikan tersentuh, aku mendengar suara yang tak asing di telingaku. Menyapaku dari radius ribuan kilometer. Mendadak ingatanku terbang pada masa-masa kami masih bergelar mahasiswa, di sebuah universitas Islam di tanah air tercinta.


Kampus LIPIA, Jakarta 2015

Muhammad Husein

“Apa rencanamu setelah lulus nanti?” tanya seorang kawan.

Pertanyaannya membuatku enggan mengangkat kepala. Bukan karena nasi bungkus andalan yang sedang kunikmati, tetapi karena aku tak ingin niatanku jadi terkotori.

“Kudengar dari adikmu, kau diterima di sebuah universitas Islam di Gaza. Kau sungguh serius ingin terbang ke sana, Bro!”

Aku terbatuk mendengar Hendra sudah sedemikan jauh mengetahui kabarku, yang akan segera terbang ke bumi para nabi itu.

“Kalau di sana kau sudah menemukan bidadari bermata jeli, segera kontak aku, ya. Bukankah rezeki itu harus dibagi? Ha-ha-ha-ha ....”

Sumpah, aku hanya bisa menyumpah-serapahinya dalam hati. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa aku ke sana hanya ingin berburu bidadari bermata jeli? Ah, naif sekali meski aku tahu ia melakukannya hanya untuk mencandaiku. Namun, ada yang mengoyak sisi hati nuraniku yang terdalam. Sungguh gurauannya sangat keterlaluan. Hendra ... Hendra. 


Palestina, 1 Mei 2020

Muhammad Husein

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuhu ...,” tergopoh aku menjawab salamnya. Benar di seberang sana adalah suara yang tak asing lagi di telingaku. Hendra Saputra. Mau apa dia menelponku? Bisik hatiku. 

“Benar ini Husein? Halo, Bro? Kaifa haluki, ya akhi!” Bagaimana kabarmu, ya saudaraku? 

“Alhamdulillah, ana bil khoyr, wa antum brother, Hendra Saputra?” Alhamdulillah kabar saya baik, bagaimana denganmu saudaraku, Hendra Saputra? 

“Ha-ha-ha ... alhamdulillah, ternyata kau masih mengingatku, Husein. Tabarakallah.” 

“Meski nomor teleponmu berganti berkali-kali pun, saat udara mengirimkan suaramu dengan jarak ribuan kilometer, seolah aku tak pernah mengerti kenapa aku masih saja mengingatmu, Akhi!”

“Apakah kau kira aku meneleponmu hanya untuk menagih janji? Ha-ha-ha .... Aku hanya ingin mengabarkan bahwa dua jam yang lalu aku telah tiba di Rumah Sakit Indonesia untuk Palestina. Ayo, sisakan sedikit waktumu untuk kita bertemu, Brother!” 

“Masya Allah, tabarakallah jadi antum ada di sini? Baik, besok selepas zuhur aku ada talaqqi Al-Qur’an bersama Syaikh Al Hamid di Masjid Al Umary. Insyaallah, kita bertemu di sana selepas asar.”

“Iya, aku sekarang dipercaya menjadi penerjemah di sini. Insyaallah, Bro! Sudah tak sabar, nih, aku ingin mendengar kabar sahabat lamaku ini. Barakallahu fiikum.” 

“Sekarang sebaiknya kau beristirahatlah dulu, Akhi. Siapkan energimu jika nanti dalam perjalanan menemuiku, kau bertemu bidadari bermata jeli itu. Atau malah sebaliknya, lebih dahulu bertemu moncong mortir milik tentara Israel. Ha-ha-ha ....”

“Well, sudah impas, kan? Satu sama kita, Bro! Assalamu’alaikum.”

Klik. Ucapan salam itu menyudahi basa-basi ala sahabat yang lama tak berjumpa. 


Masji Al Umary, Gaza, 2 Mei 2020

Hendra Saputra 

Mentari Gaza seumpama mesin penghangat tiap kali musim dingin tiba. Terlihat beberapa jemaah rebahan di lantai masjid termegah kedua setelah Masjidil Aqsha itu, untuk sekadar menghangatkan badan.

Masjid Al Umary dengan luas 4.100 m2, memang hanya sepertiga dibanding luas kompleks Masjidil Aqsha. Aku tertegun, memasuki pintu utama seumpama lorong-lorong pada gua, dengan ornamen serupa stalaktit. Saat menengadah, aku menemukan sebuah lonceng pada menara tempat azan dikumandangkan. 

Masjid ini penuh sejarah. Dahulu kala sebelum menjadi sebuah masjid, bangunan ini adalah sebuah kuil untuk menyembah matahari. Hingga saat Pasukan Salib menguasai, kemudian didirikan sebuah gereja di antara puing-puing yang tersisa. Sampai pada masa Kekhlalifahan Umar. Akhirnya, setelah Syam diambil alih oleh pasukan Muslim melalui jalur Gaza, yang dipimpin oleh panglima Amr bin Ash, bangunan ini pun kemudian beralih fungsi menjadi masjid. Deretan kisah ini sempat kubaca dari sejarah tetang Palestina. 

Seorang mufti mendekatiku, bertanya dari mana aku berasal. Mengulurkan tangan dan menjabat erat jemariku saat beliau tahu kalau aku berdarah Indonesia. Sekonyong-konyong ia menciumiku, bertitip pesan dan berterima kasih untuk seluruh masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan negerinya, Palestina. Ada gemuruh di dadaku. Inilah barangkali yang dinamakan ikatan persaudaraan Islam melebihi ikatan nasab sekali pun.

Aku celingukan mencari Husein di antara para jemaah salat asar. Takjub saat kutahu seorang lelaki muda berwajah Asia, lebih tepatnya Jawa, berjalan dari arah tempat azan dikumandangkan. Muhammad Husein, ia tak berubah. Aku baru tersadar saat ia menepuk pelan bahuku, menarik tanganku, dan menjabatnya erat. Sembari kami berpelukan kemudian, untuk melepas kerinduan.

Selepas salat asar, Husein mengajakku berbincang ringan di sebuah kedai sederhana. Tepatnya di dekat pasar di daerah Gaza City. Kami duduk berhadapan, membincangkan apa saja, hingga aroma menawan dari kudapan khas negeri ini tersajikan. Shawarma  sudah ada di hadapanku, lengkap dengan segelas jus delima yang tak sabar untuk segera kunikmati.

Namun, demi mendengarkan kisah Husein yang belum mencapai klimaks, aku mengurungkannya. Biarlah kutahan sejenak, meski alarm dari perutku sudah memanggil-manggil, tetapi aku mencoba untuk tetap fokus pada ceritanya. 

“Iya, aku sudah memutuskan untuk bergabung bersama pasukan Hamas, Hen.” 

“Kau sudah gila? Apa kau sudah memikirkannya masak-masak?”

“Iya, aku memang sudah gila, gila untuk bertemu Allah dan Rasul-Nya kelak di surga. Tentu saja aku sudah memikirkan dan tahu apa risiko yang harus aku hadapi, Hen.” 

“Tugasmu sebagai relawan kemanusiaan saja apa tidak cukup, Bro?” 

“Semenjak aku memutuskan terbang ke Gaza, aku sudah berniaga dengan-Nya. Bukankah perniagaan dengan Allah dan Rasul-Nya, tak akan ada ruginya?” 

“Benar apa yang kau katakan, tapi apa kau harus menempuh jalan syahid agar perniagaanmu dengan-Nya berbalas surga?”

“Isy karimaan aumut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid. Aku tak ada waktu lagi berdebat denganmu, Bro! Dua hari lagi aku sudah akan menuju daerah perbatasan. Memulai perjuanganku bersama pasukan Hamas. Jadi tak ada gunanya kau mencegahku.”

“Kau? Husein yang kukenal keras kepala, masih sama dan tak berubah ya, ternyata.”

Sembari kutinju bahunya yang kokoh, aku refleks mencomot shawarma yang mulai dingin, tanpa menunggu dipersilakan.

  “Iya, aku memang keras kepala. Aku hanya memohon doamu, semoga Allah senantiasa meluruskan niatanku untuk keputusan yang kuambil ini.”

“Insyaallah, tanpa kau minta pun, Bro. Doa itu selalu ada untukmu. Lalu, bagaimana dengan Haura? Tinggal selangkah lagi kalian akan menjadi pasangan suami istri, kenapa kau malah memilih pergi?”

Selama perjalanan dari Masjid Al Umary tadi, Husein sempat bercerita, hatinya tertambat kepada seorang gadis Palestina. Seorang yatim piatu, putri dari keluarga Abdullah Amran yang beberapa bulan lalu menjadi incaran tentara Israel, hingga berakhir roket meluluhlantakkan rumah sekaligus isinya.

Hanya Haura satu-satunya yang selamat, di antara puing-puing beliung yang menikam ulu hatinya paling dalam. Ia bersumpah kemudian, akan menyusul jiwa-jiwa yang lebih dulu pergi meninggalkannya. 

Haura, bidadari bermata jeli itu. Pesonanya mengalahkan gadis mana pun yang pernah Husein temui di negeri kiblat pertama umat Islam itu. Hingga suatu hari, ia berjanji dalam hati, akan menjaga Haura selama-lamanya.

Langit Gaza memerah lagi bersama aroma mesiu yang tak kunjung berhenti. Husein khusyuk menengadah pada pemilik jagat raya. Hatinya mantap, ia akan pergi selamanya. Meninggalkan tikaman rasa yang pernah bermekaran dalam taman hatinya.

“Aku titipkan ini kepadamu, Hen. Berikan kepada Haura jika saatnya tiba,” Husein memberikan secarik surat dalam amplop merah jambu.

Aku menerimanya dan menimang surat itu berulang kali, sambil menebak-nebak, kira-kira apa isinya. Husein seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Semula jari-jemarinya yang sibuk meremas-remas gelas plastik berisi jus delima itu, kemudian berpindah ke tanganku. 

“Kau akan tahu isinya nanti, jika saatnya tiba. Aku benar-benar memohon padamu. Sampaikan amanahku ini kepadanya,” Husein memalingkan muka bersama embun yang mulai hadir memenuhi pelupuk matanya. 

Aku tak kuasa menahan butiran hangat yang tak tahu diri, tiba-tiba saja jatuh di pipi. Kupeluk erat Husein dan kubisikkan sebuah kalimat. 

“Jangan khawatir, sahabatku, amanahmu insyaallah akan kutunaikan sampai tuntas.”

Malam itu akhirnya kami berpisah dalam suasana penuh keharuan. Kulihat cahaya purnama mengintip perpisahan kami. Seolah turut menitipkan sebuah pesan, bahwa tak ada yang kekal di dunia ini, hingga kelak kaki-kaki kami menapak di surganya-Nya yang abadi.


Rumah Sakit Indonesia untuk Palestina, 12 Mei 2020 

Haura Annisa

Aku memilih duduk di sini, di sebuah ruang tunggu VIP. Menghadap ke arah jendela sebuah rumah sakit megah yang dibangun oleh masyarakat Indonesia. Sebuah surat dalam amplop merah jambu itu masih kugenggam erat, sejak beberapa menit lalu Hendra memberikannya kepadaku.

Aku membukanya pelan dengan tangan bergetar. Kupisahkan amplop merah jambu itu dari isinya. Dengan mengucap basmalah, aku mulai membacanya.

Mataku basah, deras air mata mengalir, hingga kertas yang kugenggam membuat tinta yang tergoreskan memudar. Aku tak kuasa menahan kepedihan yang teramat dalam. Saatnya aku membuat sebuah keputusan. Aku tahu sejak tadi ada sepasang mata dari sosok yang kukenal, tak berhenti mengawasiku dari balik pintu ruangan. Tepat mengarah kepadaku, hingga aku jelas melihat bayangannya.

Aku seka air mataku yang rasanya tak ingin mengering. Aku beranjak dari kursi dan mengetuk sebuah pintu, kemudian mengucapkan salam. Berharap sosok yang mengawasiku dari tadi bergegas membukanya. Dengan tertunduk, aku menyerahkan surat beramplop merah jambu yang basah kuyup oleh air mataku tadi kepada lelaki itu. 

Bahunya terguncang dan menyerahkan kembali surat itu kepadaku. Tangisnya kemudian pecah. Gemintang di matanya seolah meredup. Ia hanya memandangku sekilas dan memintaku untuk meninggalkannya sendirian.


Sepucuk surat cinta teruntuk Haura 

Bismillahirrahmanirrahiim ….

Aku melamarmu, Haura 

di malam saat langit Gaza memerah

dan tengadahku kepada Ar Rahman tunai sudah

kelak akan menjadi saksi perjalanan cinta

untuk menjaga Palestina kita


Aku melamarmu, Haura

bersama dekap hangatnya Al-Qur’an

yang kau lantunkan 

dan gugusan gemintang yang bertaburan

menjaga Al Aqsha dengan penuh kesetiaan 


Aku melamarmu, Haura

untuk seseorang yang kucinta karena-Nya

pemuda salih yang di dadanya dipenuhi bara

akan menemanimu berjuang bersama

membebaskan Palestina: Hendra Saputra


Aku melamarmu, Haura

di antara desing peluru dan roket bercahaya

saat kaubaca suratku, mungkin ragaku

sudah terbang menuju-Nya

tapi, ruhku tidak, yang bersemanyam cinta

pada Palestina

aku berharap kalian bahagia, hingga kelak

kita akan berjumpa di surga-Nya


Kutulis surat ini di subuh yang jingga,

Muhammad Husein 


Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *