kullu nafsin dzaaiqotul maut...setiap yang bernyawa itu akan mati
Belum
juga ibu memungkasi lantunan surah At Taubah dalam rutinitas tilawah qurannya
membersamai Eyang yang sejak awal Ramadhan sudah menunjukkan aksi ‘diam’. Malam
ini tepat 8 Ramadhan kalimat istirja’ kemudian bergema memenuhi seisi rumah,
“Innalillahi wa inna ilahi roojiuun...”
Ibu menitikkan air mata, bukan karena sedih tetapi lebih
karena bersyukur Allah memanggil Eyang Uti (panggilan kami para cucu eyang kepada
beliau yang selalu kami takzimi) setelah lebih dari sepuluh tahun merawat eyang
dengan penuh perjuangan dan kesabaran.
Pagi itu, Ibu
terlihat sedang video call dengan
beberapa saudara yang merantau di luar kota maupun pulau untuk mengabarkan
kondisi Eyang yang tak seperti hari-hari biasanya.
Hingga Jumat
pagi kemarin rumah kami tiba-tiba ramai, tidak lebih dari separuh dari
kesembilan putra-putri eyang berkumpul di rumah, maklum situasi dan kondisi
pendemi covid-19 yang berlum berlalu ini tidak memungkinkan semua anggota
keluarga berkumpul.
Suasana
rumah kembali sepi saat semua kembali pulang, tinggal kami berempat di rumah:
Saya, Ibu, Eyang dan Hanif. Entah kenapa semenjak agenda operasi bulan Januari
kemarin saya masih belum juga beranjak dari rumah ibu. Jika beliau bertanya
saya cuma menjawab dengan singkat, “Mager, Bu. Tanggung sekalian habis lebaran
saja.”
Sore itu ibu
sudah mulai gelisah dan menangis tak henti-hentinya meski beliau tetap memaksa
terus tilawah quran di samping eyang. Saya berusaha menenangkan hingga adzan
isya’ berkumandang. Ibu sempat bimbang, mau berangkat tarawih bersama bapak ke
musholah apa di rumah saja menunggu eyang karena kondisinya yang
mengkhawatirkan. Terlihat rona mendung pada wajah ibu, pun lengkung yang
dipaksakan karena semalaman begadang menunggui eyang.
“Nduk, nitip
eyang ya ibu mau tarawih”. Ucap beliau sebelum aku mengiyakan kemudian dengan
buru-buru beliau meralatnya sebelum saya mengiyakan.
“Ndak jadi. Ibu
tarawih di rumah saja”. Keputusannya kemudian.
Saya yang masih
melanjutkan tilawah quran bergeming melihat sikapnya yang tak biasa. Bahkan
sempat menangis histeris saat memanggil Hanif agar berkenan membisikkan kalimat
thoyibah di telinga Eyang. Saya hanya menganggukkan kepala meminta Hanif
menuruti permintaan beliau. Barulah setelah Hanif berpamitan menuju ke masjid
terdekat, giliran saya yang membisikkan kalimat takbir di telinga Eyang bersama
deru nafas yang tinggal satu dua. Hingga kemudian ibu memanggil saya, yang
masih tak percaya bahwa Eyang telah tiada. Ada butir bening yang tetiba jatuh
bersama dekapan Ibu yang erat.
Dari Kembang Desa Sampai Polisi Penjara
Eyang
yang asli kelahiran Kepajen, Malang ini menurut cerita beliau dan beberapa
orang terdekatnya adalah seorang kembang desa. Sebelum menikah dengan Eyang Kakung,
beliau pernah menikah dan dikaruniai seorang putri. Tetapi kemudian harus
berpisah hanya karena alasan klise (masih menurut penuturan beliau yang pernah
dikisahkan kepada kami cucu-cucunya): tidak patut atau sudah tidak ada
kecocokan lagi.
Hanya berbekal ijazah SR, Eyang uti diterima
bekerja sebagai polisi penjara bagian adminstrasi dan ditempatkan di Jember,
tetapi karena kasus gestapu di tahun 1965, beliau harus rela pensiun dini. Saat
itu Eyang Kakung yang seorang prajurit TNI AD dan masih perjaka, kesengsem dengan Eyang Uti saat
mengambil jatah beras di kantor polisi dan akhirnya mereka menikah hingga
dikarunia 13 orang putra putri yang kemudian hanya tersisa hanya 9 orang yang
hidup hingga sekarang.
Hingga kemudian
di tahun 80-an karena Eyang Kakung pensiun, sehingga harus pulang ke kampung
halamannya di Lumajang. Diboyongnya seluruh keluarganya ke kota pisang. Episode
baru pun dimulai.
Pembelajaran Adab dan Akhlaq yang Selalu Teringat
Masih sangat teringat di masa-masa remaja kami dibekali pengetahuan tentang menjadi sebagai wanita. Eyang Uti mengajarkan tentang bagaimana seorang wanita itu yang harus memilki sifat mendhen jeru, mikul dhuwur yang artinya menjaga kehormatan suami dan keluarganya.
Pun simbol kain
jarik itu punya makna tersendiri buat kami cucu-cucunya yang ndableknya tingkat tinggi. Tak hanya
berupa simbol tentang sebuah kearifan lokal kain jarik, tetapi ada filosofi
yang hendak beliau jejalkan ke kepala kami saat itu. Menurut beliau, jarik
identik dengan simbol kewanitaan yang lemah lembut dan tidak grusa-grusu dalam bertindak. Pun dalam
berpitutur (bertutur kata) seorang wanita itu harus menundukkan kepala sebagai
penghomatan kepada lelaki yang kelak akan menjadi pemimpin dalam rumah
tangganya. Seorang wanita Jawa harus taat dan tidak boleh berkata keras
melebihi suara suaminya. Saya yang waktu itu belum mengenal Islam secara utuh
seperti sekarang hanya manggut-manggut mendengar ceritanya yang mirip sebagai
sebuah dongeng tentang masa depan di telinga kami semua.
Nyatanya
pembelajaran tentang adab itu hingga kini kami pegang erat, terutama saya. Sangat
indah jika dihubungkan dengan hak dan kewajiban seorang istri dalam konteks
Islam.
Permintaan Eyang dan Menjemput
Impian
“Ibu nanti inginnya meninggal di rumah ini lho, ya!” Pinta
Eyang kepada Ibu sejak beberapa tahun silam.
“Ibu
nanti kalau meninggal kayaknya cantik kalau pakai kerudung ini ya? Rajuk Eyang
pada Ibu minta perhatian.
“Ya
Allah, mudah-mudahkan Ibu nanti meninggalnya pas bulan Ramadhan, ya?” Eyang
menerawang sambil terlihat butiran menggenangi bola matanya hingga meninggalkan
lelehan di ujung-ujungnya.
“Kanjeng
nabi itu meninggalnya hari Jumat, mudah-mudahan Ibu meninggalnya juga di hari
Jumat ya, Nduk?” Eyang menyampaikan harapannya dengan penuh kesungguhan.
“Nanti kalau Ibu meninggal, ibu titip
pesan ndak usah pake acara sampai tujuh harian lho ya. Kalau mbak, mas, dan
adik-adikmu protes biar ibu yang menjelaskan. Makanya ibu ingin meninggal di
rumahmu, Nduk!” Eyang terus mengulang-ngulang kalimat itu di saat kondisi
beliau ngedrop.
Dan,
kemarin semua permintaan Eyang itu tuntas. Persis setiap detail yang diingini
beliau Allah eksekusi dengan indah dalam menjemput kematian yang indah pula,
saat lantunan ayat-ayatNya belum selesai dibacakan, di detik-detik itu pula Ibu
mensyukuri keputusannya hingga paripurna mendampingi Eyang dalam proses
sakaratul mautnya yang begitu mudah. Saya yang menjadi saksi mata di sana ikut
menangis, bukan karena sedih atau kehilangan sosoknya, tetapi sebaliknya
bersyukur menjadi bagian keluarga yang dipercaya untuk mengemban amanah
membersamai Eyang hingga nafas terakhirnya. Selamat jalan Eyang, doa kami
semoga Husnul Khotimah, bersama dengan terangkatnya tangan saat takbir
dikumandangkan dalam suasana pemakaman yang berbeda karena pandemi covid-19 penuh
hikmah yang teramat indah.
Wallahu a’lam bishowab...
Lumajang yang basah, sebasah perasaanku pagi tadi membersamai keranda bertuliskan
kalimat Laa ilaha illallah...yang terus menjauh ditelan masa yang bermasker dan
saling menjaga jarak.
9 Ramadhan 1441H
#inspirasiramadhan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-2
0 komentar:
Posting Komentar