Mantra Pelindung



Ini foto terbaru bersama ananda yang sulit banget disuruh foto, kalau nggak karena terpaksa karena tugas negara

"Bunda tenang saja, aku kan sudah punya mantra pelindung."

Uwotttss? respon saya dengan mata terbelalak.

Alhamdulillah saya sangat bersyukur, di momen Ramadhan kali ini meski dalam suasana masih pandemi tetapi ada banyak hikmah yang bisa saya ambil. Terutama kuantitas untuk membersamai ananda jadi lebih banyak.Meski tetap saja celoteh bernada protesnya selalu membuat dunia saya lebih berwarna.

Home Visit dan Muhasabah Time 

Suatu siang, jauh hari sebelum pandemi melanda negeri ini, Ustadz dan Ustadzah Hanif menghubungi saya via whatsApp. Beliau berdua adalah wali kelas sekaligus guru pendamping ananda di sekolah. 
"Bunda ada di rumah? Kami bermaksud ingin silaturahim ke rumah panjenengan, Bund!"

Saya membaca deretan kalimat tersebut dengan seksama. Tak hendak paranoid atas kunjungan keduanya. Saya pikir momennya memang pas saat menjelang PTS (Pekan Tengah Semester) seperti ini selayaknya walas dan guru pendamping memang melakukan home visit ke rumah para siswa-siswinya, tak terkecuali kunjungan ke rumah kami barangkali sudah masuk dalam daftar rencana kunjungan.

Pengalaman menjadi seorang pendidik lebih dari tujuh tahun membuat saya paham dengan hal-hal demikian. Tetapi koq sisi hati saya berkata lain ya meski saya berusaha memungkasi pertanyan demi pertanyaan yang muncul di benak dengan tenang. Tetapi jujur tak bisa saya sembunyikan perasaan khawatir saya atas apa yang menimpa ananda di semester dua ini. Peristiwa demi peristiwa yang berakhir pada pemanggilan orang tua benar-benar membuat saya tersungkur memohon ampun pada rabb sang pemberi hidup.

Sebagai orang tua, wajar jika saya kecewa. Tetapi sebelum saya berdialog dengannya, bukankah lebih bijak jika saya terlebih dahulu bermuhasabah atas peran ganda yang mungkin tak bisa saya jalani dengan optimal selama ini? Setelah sujud panjang sore itu, dengan penuh khidmat kami berbicara dari hati ke hati. Sambil berlinangan air mata saya katakan padanya:

"Bunda akan pasang badan buatmu, benar atau salah posisimu dalam masalah ini. Hanya pesan Bunda hanya satu hal ke kamu!"
"Apa, Nda?" ucapnya dengan kepala masih menunduk dalam balutan rasa bersalah.
"Katakan dengan jujur apa yang terjadi sebenarnya tidak hanya ke Bunda tapi juga ke ustadz dan ustadzah." Saya menatapnya sekali lagi.
"Meski resikonya kamu dihukum sekalipun. Bunda akan lebih bangga memiliki anak yang jujur daripada berbohong untuk menghindari hukuman. Itu pengecut namanya." Kali ini pertahanan saya jebol, tak kuasa air mata yang sedari saya tahan untuk tak jatuh mendadak mendesak-desak, tumpah ruah tak terkira.
"Iya, Nda." ia menjawab masih dengan menunduk dan kepala menggangguk.
"Sudah siap-siap sholat maghrib sana, Bunda nggak ingin kamu terlambat ke masjid." Saya terus memandanginya hingga bayangan punggung kokoh itu menghilang.

Sejak kejadian itu saya jadi sering merenung, lebih tepatnya bermuhasabah. Bukankah kesalahan anak kita tersebab dosa orang tuanya? Semoga Allah berkenan menerima taubat saya atas segala dosa yang saya lakukan baik sengaja atau pun tidak. Dan siang itu, Ustadz dan Ustadzah sudah mendarat di rumah. Dengan senyum paling ramah saya persembahkan untuk menyambut keduanya disertai jamuan berupa es teh dan kudapan sosis solo yang sudah disiapakan oleh uti sejak tadi.

Kami berbincang lama, lebih dari dua jam hingga mentari tampak mulai meredup di angkasa. Tema pembahasan pun gado-gado. Dari kebiasaan belajar ananda sampai karakter 'unik'-nya yang ayah banget. Ada hal yang menarik yang saat itu sempat saya kantongi baik-baik untuk saya eksekusi kemudian sepulang ustadz dan ustadzahnya nanti.

"Mas Alif-panggilan Hanif di sekolah- meniko memang anaknya mandiri tapi kelemahannya dia itu sering terpengaruh dengan teman-teman yang perilakunya kurang baik, Bunda!" Ustadz Arif bercerita dengan penuh kehati-hatian.

"Oh iya, Mas Alif juga banyak yang suka di kelas  Bund. Beberapa teman akhwat bercerita terus terang kepada saya kalau dia suka sama Mas Alif." Ustadzah Nuri menambahi.

Poin pertama, suka terpengaruh. Oke saya mulai memikirkan strategi untuk berdialog dengan syantik tanpa harus debat kusir hingga berakhir dengan rekonsiliasi yang alot.

Nah, untuk poin kedua ini saya yang benar-benar tidak percaya. "Banyak yang suka?" tanya saya kepada Ustadzah Nuri disertai dengan tertawa dan rasa penasaran yang membuncah.
Bagaimana saya bisa percaya lha menurut pandangan saya anak saya ini secara fisik jauh dari kata tampan pun kulitnya makin hari makin eksotik karena sering terpanggang sinar mentari akibat hobi bolanya yang luar biasa. (Untuk kisah ini saya akan ceritakan secara terpisah in sya Allah di lain waktu)


Punya Mantra Pelindung

Di bulan Ramadhan ini apalagi saat kondisi masa pandemi ananda sudah sangat lama tidak ke sekolah. Adalah sebuah tantangan bagi saya untuk memberikan aktifitas alternatif agar ananda tidak bosan. Tapi realitanya, di awal-awal ramadhan karena saya mungkin yang kurang bersabar akhirnya berujung pada pertengkaran. Saya kemudian mengikutkan ia sebuah program petualangan ramadhan secara daring dan alhamdulillah dia berkenan. Tapi bukan kemudian masalah selesai begitu saja, saat tugas sudah selesai dikerjakan kebosanan melanda. Ia ingin sekali main keluar rumah, sementara di rumah utinya saya kurang sepakat jika ia bergaul dengan anak-anak tertentu yang memang sudah berlabel membawa pengaruh buruk bagi anak-anak di sekitar lingkungan, tak tekecuali bagi anak saya: Hanif.

Suatu siang, meski ia sudah menginjak remaja ia merengek kepada saya agar diizinkan untuk main ke rumah temannya yang masih bertetangga dekat. Sebelum saya mengizinkannya, saya mencoba untuk menasehatinya tentang pengaruh seorang teman, bercerita tentang hadits yang sudah sangat familiar tentang gambaran teman yang seorang pandai besi dan seorang penjual minyak wangi. Ia tampak membela diri dan beralasan tak punya teman lagi. Oke saya pun akhirnya mengizinkan dengan beberapa syarat dan ketentuan yang harus ia penuhi. Dan ia pun mengangguk tanda setuju meski diwarnai dengan negosiasi yang tidak sebentar.

Hingga suatu pagi, sepulang ia dari masjid ia berpamitan mau nggowes dan olah raga dengan menyebut nama seorang teman yang bukan biasanya. Setelah saya tanya, ia mencoba menghindar dan mengatakan, "Nggak pa-pa biasa ae koq, Nda."

Tapi saya yakin ada yang disembunyikan olehnya agar saya tidak mengkhawatirkannya. Saya bertanya sekali lagi, pun senjata pamungkas saya keluarkan, cerita tentang keutamaan memilih teman sholih tak lupa kembali saya ceritakan. Bukan karena saya menyangsikan akan ingatannya yang tajam, tetapi diluar ekspektasi dia sudah menyiapkan sebuah jawaban. Dan dengan santainya saat saya masih berpidato dengan berapi-api ia pun memungkasinya dengan hanya mengatakan,

"Tenang, Hanif sudah punya mantra pelindung diri."

Sementara saya, tak  bisa menyembunyikan senyum saya yang kemudian berubah menjadi tawa bersama dengan tawanya yang selalu bisa menghibur saya.

Wallahu a'alam bishowab...

Lumajang, 20 Ramadhan 1441H
...terima kasih atas segala karuniaMu hingga Ramadhan ke-20 ini. Alhamdulillah...alhamdulillah...

#inspirasiramadhan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-13




0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *