SAFETY PLAYER




Manajemen “Safety Player” adalah pemain yang selalu mencari keselamatan dirinya sendiri. Kalau bahasa Lumajangnya kira-kira begini: “wong sing seneng nggolek amane dhewe”. Wkwkwkwkwk...

Pada dasarnya sifat manusia cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri. Coba lihat saat kita menggaruk bagian tubuh yang gatal, ke manakah arah garukan tersebut? Semua yang enak biasnaya terlebih dahulu diarahkan pada diri sendiri. Ketika ancaman datang, maka menyelamatkan diri sendiri juga bagian dari sifat dasar tersebut.

Ada sebuah kisah menarik untuk sama-sama kita refleksikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyesap hikmah tentang tema ini.

Suatu sore, sebuah pesawat Fokker 27 milik maskapai penerbangan sedang terbang melayang melintasi hutan-hutan di seputar Bukit Barisan, Sumatera Utara. Di dalamnya terdapat tujuh orang yakni sang pilot, asisten pilot, seorang pejabat, seorang rekanan, seorang staf ahli, seorang pensiunan, dan seorang asrot (asisten sorot) yang biasa membantu presentasi atasannya. Semua penumpang tersebut memiliki tujuan yang sama untuk sebuah agenda dinas: Kota Medan.

Rupanya, di luar cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan angin, dan petir yang menyambar-nyambar sehingga membuat pesawat oleng ke kiri dan ke kanan. Pilot sudah kewalahan dalam mengemudikan pesawatnya, hingga pada suatu waktu diambil keputusan untuk melaporkan kepada menara pengawas terdekat bahwa pesawat akan jatuh. Sang pilot melaporkan bahwa pesawat dihadang cuaca buruk dan kemungkinan akan jatuh.

Benar saja, beberapa saat setelah pilot mengirimkan kawat SOS, tiba-tiba dari bagian belakang pesawat terdengar letupan kecil yang menandakan bagian ekor pesawat tersambar petir. Semua penumpang diam ketakutan, bahkan banyak yang berdoa memohon keselamatan.

Beberapa saat kemudian, ruang kokpit terbuka dan keluarlah pilot beserta co-pilot untuk melaporkan kejadian ke seluruh penumpang.
“Para penumpang yang terhormat, saya punya berita baik dan buruk. Berita buruknya bahwa kita sebentar lagi akan jatuh di hutan belantara yang ada di sekitar Bukit Barisan. Sedangkan berita baiknya, di pesawat ini ada enam parasut. Saya dan mitra saya (co-pilot) sudah mengambil dua!”

Sesaat kemudian pilot dan co-pilot membuka pintu pesawat dan melompat menyelamatkan diri. Penumpang masih tersisa 5 orang lagi, sementara parasut yang tersisa tinggal 4 buah.

Tiba-tiba sang pejabat menarik satu parasut sambil berkata, “Saudara-saudara, saya adalah seorang pejabat di perusahaan kita, Anda tahu itu. Banyak surat-surat yang menyangkut nasib orang banyak belum saya tanda tangani. Begitu juga dengan rapat-rapat penting lainnya. Kehadiran saya di Medan sangat dinanti-nantikan oleh Gubernur dan seluruh pegawai. Jadi, bagaimana pun saya harus selamat.” Sang pejabat pun lalu melompat menyelamatkan diri.

Tidak ketinggalan rekannya. Dia mengatakan, “Saudara-saudara, sebagai penyalur dan distributor, keberadaan saya sangat penting. Barang-barang untuk perusahaan saudara akan tersendat kalau saya tidak ada. Di samping itu, ada begitu banyak orang saat ini sedang menanti-nantikan amplop dan transfer rekening dari saya. Kalau saya tidak ada, kasihan mereka.” Lalu ia meraih satu parasut dan melompat.

Demikian pula dengan penumpang berikutnya, seorang staf ahli perusahaan. Dia mengatakan, “Uang perusahaan telah habis untuk menyekolahkan saya hingga jenjang pascasarjana. Kehadiran saya sangat berguna untuk memberikan masukan yang berharga bagi direksi dan perusahaan. Hanya sekian orang yang di perusahaan yang pandainya seperti saya.” Dengan buru-buru ia pun mengambil parasut dan keluar. Melompatlah ia sambil berteriak kegirangan, “Succsess is never die!”

Tinggallah seorang pensiunan dan asisten sorot yang terbengong-bengong menarap satu parasut.
Akhirnya, sang pensiunan berkata, “Anakku, bapak sudah lama hidup dan bahagia bekerja di perusahaan. Banyak kesehahteraan yang bapak peroleh selama berkarya di perusahaan. Bahkan, sekarang anak-anak saya sudah jadi “orang” semua. Saatnya sekarang bapak mau berbagi dan memberi kesempatan kepada yang muda. Ambillah parasut ini, biar bapak terjun bersama dengan pesawat ini nanti!” Seru pensiunan dengan nada mengharukan.

Mendengar hal ini, si asisten sorot tersenyum dan dengan tenang berkata kepada pensiunan tersebut, “Tenang, Pak, jangan khawatir. Kita masih bisa menyelamatkan diri bersama-sama.” Si asisten sorot yang pandai tadi tidak menggunakan parasut, namun baru saja melompat keluar dengan memakai tas ransel yang berisi LCD (in focus).

Sifat dasar untuk memenangkan diri sendiri yang terus menerus akan menjadi warna dalam kehidupan seseorang dan ini disebut sebagai “safety player”. Hal ini hanya bisa diubah dengan adanya internalisasi nilai-nilai agama, latar belakang pendidikan, pola asuh dan lingkungan sehingga sifat mementingkan diri sendiri akan pelan-pelan berubah menjadi lebih mementingkan orang lain.

Pun tidak ada korelasi yang positif antara jabatan, kekayaan, dan jenjang pendidikan pada seseorang untuk mau berkorban bagi orang lain. Karena sejatinya pengorbanan itu digerakkan oleh mesin hati yang ingin selalu melayani meski tanpa mendapatkan apresiasi.

Bukankah Allah Maha Mendengar dan Mengetahui? Tidak ada satu pun perbuatan baik yang luput dari penglihatan-Nya. Demikian pula tidak ada  perbuatan (bahkan niatan) buruk yang terhindar dari pengamatan-Nya. Pengorbanan yang dilakukan manusia terhadap orang lain tentu akan memperoleh pahala yang setimpal dari-Nya tepat pada waktunya.

Menutup refleksi ini, Glen Clark pernah memberikan nasihat berharga, “Kalau anda ingin menempuh jarak jauh dan cepat, ringankanlah beban Anda. Tanggalkan segala iri, kecemburuan, ketidakrelaan mengampuni, sikap mementingkan diri sendiri, dan ketakutan!” Sudahkah kita berikan “parasut” kita kepada orang yang lebih membutuhkan?

Lumajang, 22 Juni 2020

Meniupkan Ruh pada Tulisan





“Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, namun satu tulisan bisa menembus beribu kepala bahkan malah jutaan.” (Sayyid Qutb)

Betapa dahsyatnya pengaruh sebuah tulisan yang kita hasilkan. Apalagi jika tulisan tersebut memiliki pengaruh sangat dahsyat hingga membuat orang lain berubah menjadi lebih baik. Tak jarang, beberapa tulisan menjadi washilah hijrahnya seseorang menuju rabb-Nya.
Sebaliknya, jika tulisan itu berisi ajaran sesat atau keburukan. Pastilah yang terjadi adalah rusaknya peradaban.

Saya jadi teringat kisah seorang bangsawan berkebangsaan Perancis, Marque De Sade penulis filsafat yang diganjar hukuman 29 tahun penjara karena menulis perihal yang bertentangan dengan ajaran gereja. Tulisan De Sade dianggap melanggar etika dan tata krama karena mengumbar nafsu dan seksualitas. Kisahnya tragis, hingga ia mengakhiri hidupnya dalam sel penjara tanpa apa-apa termasuk pakaian yang melekat di tubuhnya. Tetapi yang menarik, di akhir hidupnya itu, De Sade masih berusaha menulis di tembok penjara dengan kotorannya sendiri setelah tak satupun benda atau anggota tubuhnya yang bisa digunakan untuk menyalurkan pemikirannya. Kisah Marque De Sade ini sempat difilmkan di tahun 2000 silam dengan judul The Quills.

Lain halnya dengan kisah seorang imam penulis kitab Shahih Bukhari. Beliaulah Imam Bukhari, seorang imam yang sudah tak diragukan lagi bagaimana sifat wara’ beliau kepada Allah. Sampai ketika menyusun kitab Shahih Bukhari pun beliau harus sangat hati-hati.

Seperti kisah beliau yang dituturkan salah seorang muridnya, al-Firbari, Imam Bukhari suatu ketika berkata mengenai awal mula penulisan karya best seller-nya  itu, “Saya menyusun kitab al-Jami’ as-Shahih ini di Masjid al-Haram, Makkah. Dan saya tidak mencantumkan sebuah hadist pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat, memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadist itu benar-benar sahih.”
Allahu...Masya Allah betapa beliau sangat menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Dzat dari segala Dzat yang meniupkan kita ruh kehidupan di atas muka bumi ini. Atas karunia Islam, iman, rezeki, kesehatan bahkan jodoh yang sholih dan sholihah dari-Nya.

Kisah Marque De Sade dan Imam Bukhari memang tak layak disandingkan. Tetapi, dari dua kisah ini kita hendak mengambil sebuah pelajaran. Motivasi menulis yang besar yang dimiliki oleh De Sade harus melebihi motivasi kita sebagai seorang muslim yang diperintahkan menyerukan kebenaran hingga cahaya iman memenuhi setiap rongga jiwa pemebacanya. Pun sifat wara’-nya Imam Bukhari harusnya menjadi teladan bagi kita para penulis. Bagaimana kita senantiasa menjaga hubungan kita dengan Allah untuk menghasilkan sebuah karya yang memiliki ruh. Teori dan teknis kepenulisan saja tetunya tidak cukup untuk menghasilkan sebuah karya yang berkualitas. Hingga hal ini senada dengan quotes dari Bunda Helvy Tiana Rosa. Beliau mengatkan bahwa,
“Buku yang kau tulis adalah semacam jejak yang terus menyala di dunia, dan bisa menjadi cahaya akhiratmu.”

Semoga dengan terus membangun kedekatan kita dengan Allah, tulisan-tulisan yang kita hasilkan akan memiliki ruh hingga sampai ke hati-hati para pembacanya. Terlebih, karena tulisan kita mereka terinspirasi dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin...aamiin...ya rabb 🤲🏻


Wallahu a’lam bishowab...

Lumajang, 7 Juni 2020

Yes Man Karena Sungkan yang Tidak pada Tempatnya



“Seorang yang sudah terlalu banyak menerima pemberian, akan sulit menegur saat pemberi melakukan kesalahan.”

Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca dari sebuah buku motivasi. Dalam cerita tersebut dikisahkan seorang ibu yang sedang mengandung anak kembar laki-laki. Tidak ada tanda-tanda kelainan apapun dalam masa kehamilan ibu tersebut. Hanya di hari kesepuluh bulan kesembilan, tak ada tanda-tanda ibu tersebut akan melahirkan. Beliau berpikir mungkin karena bayi laki-laki, hingga kemudian ia memutuskan untuk bersabar menunggu dan beraktivitas seperti biasa.
Hingga hari berganti hari, bulan berganti bulan pun tahun berganti tahun, si ibu belum juga melahirkan, sementara perut si ibu semakin membesar dan makanan yang masuk pun semakin banyak. Hingga memasuki tahun keempat puluh, para pemuka adat dan tabib berencana mengeluarkan bayi dewasa yang ada dalam kandungan ibu tersebut. Hal ini dilakukan karena melihat kondisi sinibu yang makin lemah dan tua. Operasi yang direncanakan untuk mengeluarkan bayi kembar tersebut melibatkan banyak tabib senior yang ada di negeri tersebut.

Bersyukur operasi berjalan lancar, tetapi yang menakjubkan saat kandungan si ibu dibuka tampak dua orang manusia yang sudah berjanggut dan berkumis dengan ibu jari saling menunjuk satu sama lain. Karena dianggap sudah dewasa, sang tabib berinisiatif untuk bertanya mengapa mereka tidak keluar-keluar sejak usia 9 bulan 10 hari yang lalu? Mereka kemudian menjawab sambil tetap saling menunjuk,
“Kami saling mempersilakan. Saya meminta agar dia keluar terlebih dahulu, tapi malaht dia juga mempersilakan saya lebih dahulu, terus saja begitu. Hingga anda para tabib membuka pintu kandungan ini.”

Budaya sungkan (ewuh pakewuh) ini adalah cerminan dari budaya Timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan. Namun, porsi yang berlebihan dari budaya sungkan ini justru akan menghambat bergulirnya roda organisasi dan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan bersama.

Beberapa hal yang memicu budaya sungkan ini dalam kehidupan sehari-hari biasanya karena faktor seseorang yang sudah terlalu banyak menerima pemberian (kebaikan) orang lain akan sulit menegur si pemberi tersebut apabila melakukan kesalahan. Mungkin juga dapat terjadi seseorang sulit memberi masukan pada orang lain (mungkin atasan sekalipun di organisasi tersebut) yang sudah sangat senior dengan segudang kompetensi yang dimiliki hingga ketika fenomena sungkan ini dirasa sangat berlebihan, maka akan memicu seseorang untuk menjadi “Yes Man” atau “Asal Bapak Senang” (ABS). Di depan berkata iya, tetapi lain dengan kenyataan yang sebenarnya. Padahal tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua manusia perlu dikoreksi, diluruskan, dan diarahkan dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Yang menjadi fokus di sini bukan apa yang disampaikan tetapi bagaimana cara menyampaikannya.

Budaya sungkan ini nampaknya harus dilawan dengan sikap asertif. Sikap asertif ini memiliki keberanian yang sungguh-sungguh untuk mengatakan kebenaran yang ada sekalipun dengan resiko siap untuk tidak disukai orang lain. Ia berani mengatakan apa yang benar kepada orang lain (sekalipun mungkin tidak mengenakkan hati orang tersebut) tanpa perlu merasa berhutang budi atas perbuatan orang lain tersebut bahkan malah cenderung selektif terhadap pemberian orang lain jika pemberian tersebut akan mengganggu idealismenya untuk menegakkan kebenaran.

Wallahu a’lam bishowab...
Lumajang, 10 Juni 2020

Terkenal di Langit



Di era disrupsi seperti saat ini menjadi terkenal secara instan sangat mudah dan mungkin. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi terkenal mendadak. Akses internet yang mudah membuat kita mudah untuk menunjukkan eksistensi di setiap media sosial yang kita punya. Bukan lagi hanya sebagai hiburan semata tetapi sudah menjadi kebutuhan akan ekspresi dan apresiasi. Hingga kadang sudah tidak lagi memikirkan manfaat dan madhararnya demi eksistensi dan apresiasi rela membuat konten receh dan unfaedah. Tetapi bukankah konten-konten semacam itu yang diminati?

Belum lama ini di negara kita sempat viral seorang youtuber yang dituntut hingga berakhir mendekam di hotel prodeo. Apa pasal? Mereka melakukan prank kepada para waria dengan memberi bingkisan berisi sampah dan batu yang direkam dalam video, dan diunggah di akun yuotube mereka demi menaikkan angka like dan subscriber. Gila! Hanya karena ingin menaikkan jumlah subsbcriber banyak hal yang ditabrak hingga tak peduli lagi dengan akhlaq dan etika. Dan benar saja, tujuan mereka tercapai hingga akhirnya harus menelan pil pahit mendekam di penjara.

Menarik jika fenomena ini dibandingkan dengan sebuah kisah di zaman Rasulullah. Siapa yang tak kenal dengan sosok tabi’in terbaik bernama Uwais Al-Qarni? Beliau memang bukan sosok tabi’in yang hits dan viral di kalangan masyarakatnya. Tetapi siapa yang menyangka jika orang sesederhana beliau justru terkenal di kalangan penghuni langit  karena kesalehannya. Rasul pun menyebutnya tabi’in terbaik.

Dikisahkan bahwa tidak ada yang istimewa dari Uwais Al-Qarni. Dia hanya seorang penggembala unta, namun kesungguhannya dalam mempelajari Islam sebagai bukti cintanya terhadap agama yang diajarkan oleh Rasulullah. Kecintaannya kepada Islam dan Rasulullah memunculkan keinginan dalam dirinya untuk berjumpa dengan Rasul. Dia ingin menyusul Rasullullah ke Madinah dan ikut berjihad berjihad bersama Rasul. Namun, ia harus menahan keinginannya tersebab harus menjaga sang ibunda yang dalam keadaan buta. Ia pun memutuskan untuk merawat sang ibuda.

Mengetahui kecintaan sang anak kepada Rasulullah yang begitu besar, ibunda Uwais mengizinkannya untuk pergi menemui Rasulullah dengan memberikan sebuah pesan. Sang ibunda berpesan, jika hajat bertemu Rasulullah sudah tertunaikan, maka Uwais diminta untuk segera pulang. Qadarullah, sesampainya di Madinah Uwais ternyata tidak berjumpa dengan Rasul karena saat itu Rasul sedang berada di luar Madinah. Namun, karena teringat akan pesan sang ibunda ia pun segera kembali pulang demi baktinya kepada sang ibu.

Berita kedatangan Uwais ini sampailah kepada Rasulullah melalui wahyu. Dan inilah bukti bahwa Uwais Al-Qarni dikenal oleh seluruh penghuni langit. Hingga ia pun terkenal di kalangan para sahabat, meski tak berjumpa dengan Rasul hingga mati syahid di perang Siffin bersama Ali. Allah pertemukan ia dengan Rasul d surga-Nya.

Uwais adalah satu di antara kisah orang yang dikenal oleh penghuni langit tersebab kesalehan, kebaikan, dan berbakti kepada orang tua, serta kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Begitu indah ketika kita dikenal oleh penghuni langit. Siapa saja tentunya ingin terkenal di kalangan penghuni langit karena kesalehan dan kebaikan kita? Bahkan Allah telah memberikan kisah ini sebagai teladan bagi kita. Kita bisa dikenal oleh penghuni langit dengan syarat memantaskan diri hingga kita layak  menjadi hamba-Nya yang kelak dikenal penghuni langit.

Seperti Uwais Al-Qarni yang terkenal dengan kesalehan dan zuhudnya, Bilal bin Rabah terkenal karena selalu menjaga wudu hingga Rasul mendengar bunyi terompahnya di surga, Aisyah terkenal karena kesabarannya saat peristiwa haditsul ifki (berita bohong) yang menimpaya hingga Allah mengabadikan di dalam Al-quran. Dan banyak lagi kisah para sahabat Rasul yang terkenal di seluruh penjuru langit.

Cukup memantaskan diri dihadapan Allah, tak perlu banyak followers, viewers bahkan subscriber. Mudah-mudah kelak kita juga termasuk yang dikenal oleh penduduk lagit. Aamiin...

Wallahu a’lam bishowab...

Lumajang, 14 Juni 2020

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *