Sejak H-6 menjelang Idul Fitri mall satu-satunya di kotaku mendadak seperti kehilangan kendali. Kepala-kepala
manusia seolah menyembul tanpa ampun, berdesakan bercampur aroma cairan sisa eksresi
ditambah beberapanya mulai mengabaikan protap kesehatan anjuran dari pemkab
untuk sementara melakukan social
distancing dan menggunakan masker. Pemilik mall mengaku tak bisa mencegah membludaknya pengunjung, sementara
pengunjung mengaku tak enak kalau tak mengenakan baju baru di saat lebaran
nanti. Serasa ada yang kurang, seloroh salah satu di antara gerombolan yang
seolah sok tahu bahwa negeri sedang ini baik-baik saja. Sementara, di balik tembok
bangunan putih kokoh itu terbaring pasien-pasien positif covid-19 bersama para
tenaga medis yang rela meninggalkan keluarga, terpapar virus, dan meregang
nyawanya demi menjadi bagian dari garda terdepan melawan virus corona,
khususnya di kotaku tercinta. Terserah!
Suasana
kantor pos tampak seperti lautan manusia di siang terik itu. Bangunan kokoh
sejak zaman Belanda yang tak seberapa luas kiranya hanya bisa menampung dua
puluhan orang. Tapi hari ini mereka saling merangsek, sikut sana sini, berharap
mendapat giliran pencairan dana BLT lebih dulu dan merasa dirinyalah yang
paling butuh.
“Biar bisa buat
beli baju baru” Suara seorang ibu paruh baya pelan dibalik masker polkadot yang
ia kenakan berbisik ke arah saya seraya mengedipkan mata. Sangat kontras dengan
perhiasan yang tampak memenuhi setiap lingkar tangan dan jari-jemarinya. Terserah!
Pihak kantor pos
kewalahan melayani warga yang hilir mudik bertanya kapan dana BLTNya akan cair.
Padahal berkali-kali petugas yang berjaga meminta masyarakat membaca kembali
jadwal pengambilan BLT yang sudah tertempel rapi di papan pengumuman. Sumpah,
rasanya ingin teriak saja menghadapi jiwa-jiwa
yang haus pertolongan menengadah pada rupiah belas kasihan pemerintah. Haus atau
rakus? Hanya beda tipis. Terserah!
“Oh negeriku,
negeri antah berantah. Sampai kapan pertunjukan dagelan ini akan berakhir?” Protesku yang hanya termuntahkan di
dalam hati saja.
Di
rumah, si sholih heboh menunjukkan video podcast
seorang youtuber ternama.
Menunjuk-nunjuk layar gawainya dan menyumpah serapahi si youtuber
“Koq
bisa sih buat konten seperti ini? Mikir nggak sih youtuber itu?”
“Bukankah
konten yang banyak mendapat like dan subscribe itu yang receh dan unfaedah?”
Aku menanggapinya tak kalah sinis.
“Iya
sih, tapi ya nggak begitu juga Nda! Harusnya youtuber saat ini juga ikut memberikan edukasi kepada masyarakat
luas tentang pentingnya menjaga diri dan bersama-sama melawan corona agar
segera pergi dari negeri kita ini.” Ia mencoba beropini, terdengar sok dewasa
di balik pemaparannya ini. Tapi aku suka.
“Tak ada
yang lebih penting dibanding jumlah subscriber,
Le!” Aku menanggapinya ketus.
“Iya
nggak semualah youtuber berpikir
seperti itu!” Ia membalasnya tak kalah ketus.
“Tapi
kenyataanya begitu.” Aku tak mau mengalah.
“Terserah!”
Sambil berlalu dari hadapanku.
Ramadhan
kali ini berbeda, lebih syahdu bahkan kebersamaan yang tercipta dalam ruang
keluarga seolah otomatis menjadi mesin penghangat. Meski corona masih menjadi
kambing hitam di mana-mana. Di kotaku, selama Ramadhan ini toko-toko dan pusat perbelanjaan
harus tutup lebih awal, jam empat sore lebih tepatnya.
Di awal
malam Ramadhan itu, lampu-lampu jalanan tampak temaram, sebada isya’ kotaku
seperti kota mati, tak bernyawa lagi. Tetapi, mendadak beberapa hari lalu
seolah ada ledakan warga berkumpul dalam satu tempat, mall dan pusat perbelanjaan. Berburu baju lebaran katanya demi
kesakralan Idul Fitri. Sungguh meresahkan. Terserah!
Aroma
selai nanas menguar dari celah jendela rumah tetangga bersama harmoni suara mixer dan denting lengser yang
dikeluarkan dari oven. Tak ada yang berubah, di malam ke-27 ini dalam temaram kotaku
sebagiannya terlihat berburu lailatul
qadr, sebagiannya luruh dalam dengkur panjang tak berkesudahan, sebagian
lagi sibuk mempersiapakan aneka pernak-pernik lebaran yang tak pernah akan
mencapai titik kepuasan demi sebuah kepantasan.Terserah!
Hujan yang sejak
siang mengguyur kotaku seolah tak menjadi penghalang para pemburu aneka rupa
simbol perayaan Idul Fitri itu menghentikan petualangannya. Mereka rela
menabrak aturan yang berlaku. Asal jaga diri dan kesehatan, apa pedulimu. Terserah!
Rintik hujan
masih tersisa meski bayu mencoba mengambil alih, menyusup ke tiap rongga
kehidupan manusia di kotaku yang temaram. Aku menengadah ke langit, mencoba
untuk mencocokkan puzzle tentang
tanda-tanda lailatul qadr dari berbagai
referensi yang pernah kubaca bertahun
silam. Benarkah malam ini adalah malam yang dinantikan? Hingga suara ketukan
kasar bersama ucapan salam dari seseorang terdengar mengusik gendang telingaku.
“Assalamualaikum,
Bun, Bunda saya bisa minta tolong?” Seorang Ibu dengan penampilan acak-acakan
bertamu ke rumahku sambil tergopoh-gopoh.
“Waalaikumussalam
warahmatullahi wa baraktuh, monggo masuk dulu, Bu. Ada apa ini koq malam-malam?
Apa yang bisa saya bantu?”
“Ini
Bun, anak saya nggak mau berhenti menangis. Barangkali Bunda berkenan ke rumah
dan menenangkannya.”
“Oh jadi
begitu. Tetapi sebelum saya ke sana, saya butuh informasi tentang penyebab mengapa
anak Ibu tidak mau berhenti menangis?” Sang Ibu kemudian bercerita dari awal
hingga akhir tentang anaknya tadi.
***
Melintasi
gang-gang sempit, di antara harap dan cemas dengan langkah terseok mencoba
untuk mempercepatnya. Hingga sampai di depan sebuah pintu rumah yang sudah
merapuh terdengar suara tangis menderu-deru. Memekakkan terlinga siapa saja
yang mendengarnya tak terkecuali wajah-wajah penghuni rumah yang mulai resah.
Dan dialog pun akhirnya terjadi antara aku dan seorang anak berusia 5 tahunan
itu.
“Assalamualaikum,
Mas Rama ayo anak ganteng dan sholih cup
cup sayang. Nanti kalau nggak cup ganteng dan sholihnya jadi hilang lho!”
Sembari kuelus kepalanya.
“Nggak, nggak
mau, pokoknya aku mau dibelikan baju dulu!”
“Lho itu
bajumu sudah Ibu belikan, Le!” Sambil
mengambil setelan baju dan menunjukkan ke sang anak.
“Nggak, nggak
mau!”
“Rama
maunya baju lebaran yang bagaimana, Le?”
Saya kembali bertanya.
“Yang
kayak di tivi-tivi itu!”
“Yang kayak di
tivi-tivi itu yang mana, Nak?”
“Yang kayak
robot dan ada helmnya!” Kali ini tangisnya mulai mereda.
Sejenak
aku tertegun, terbayang kostum APD para tenaga medis yang berjibaku
hari-harinya di rumah sakit untuk melawan covid-19. Sejenak kubuka aplikasi youtube dan kutunjukkan sebuah video
tenaga medis yang mengenakan APD. Sontak
Rama bersorak kegirangan, “Iya, aku mau beli baju kayak itu, Bu!” Sambil
telunjuknya menunjuk ke arah gawaiku. Terserah!
Selesai
Lumajang, 27 Ramadhan 1441H
#inspirasiramadhan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-20
0 komentar:
Posting Komentar