Bahterahku Tlah Berlabuh (1)



Pernikahan yang kita semua tahu adalah ibadah terlama bagi sepasang manusia akhirnya tertunaikan sudah. Memutuskan untuk menikah (lagi) setelah 9 tahun sendiri bukan tanpa sebab. Sebagian teman-teman bahkan (mungkin) bertanya-tanya. 
“Bunda Novi menikah?” 
“Sama siapa?” 
“Orang mana?” 
Bahkan ada yang ekstrem bertanya, 
“Akhirnya laku juga, Bund? Ternyata ada ya yang mau sama kamu?” 😄

Baiklah, bismillah saya coba untuk mengurainya dalam sebuah kisah. Eaaa…

Kisah ini dimulai saat Mas Hanif akan berangkat mondok. Tiga hari sebelum hari pemberangkatan tetiba ia mengajak saya berdialog mesra, bahkan sangat mesra dengan atmosfer syahdu yang memenuhi ruang kamarnya yang temaram malam itu.
Saya yang sedang sibuk memilah pakaiannya di lemari untuk dipindahkan ke dalam koper harus terhenti dengan kalimatnya yang penuh permohonan dan gaya sok metuweknya itu membuat saya sejenak mengalihkan pandangan. 

“Nda, duduk sini Hanif mau ngomong serius sama Bunda.” 
“Heh? Serius opo, Mas?” Sampai di sini terasa kan bagaimana anak saya yang waktu itu masih akan beranjak usia 13 tahun sungguh sangat metuwek. 
“Bunda duduk sini dulu ta, beneran ini Hanif mau ngomong serius.” 
Sampai di sini saya berkelakar untuk menguji keseriusannya. 
“Halah serius opo tho, Nif? Kamu itu ada-ada saja. Emoh Bunda masih mau menyelesaikan menata baju-bajumu ini lho.” 
“Bunda lak mesti. Lihat Hanif sini, Hanif benar-benar serius mau ngomong sama Bunda ini.” Eh, wajahnya tampak memohon dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Itu artinya, saya harus segera menghampirinya, duduk tepat di sampingnya seperti yang ia minta. 
Dengan penuh perhatian saya kemudian mempersilakan Mas Hanif bicara yang katanya “serius” itu. 
“Nda, tiga hari lagi Hanif berangkat seleksi ke Gontor. Kalau Hanif nanti diterima mondok di Gontor, Bunda lak sendirian ya? Beberapa hari ini Hanif kepikiran. Setiap mau tidur Hanif mikir Bunda.” Metuwek mode on lagi deh pikir saya dalam hati. Tapi kali ini kok rasane “nyes” ya nang ati. 

Sembari menimpali keresahannya dengan sebuah kalimat, 
“Trus kenapa, Le? Bunda gak sendirian kok. Ada Allah yang selalu membersamai.” Uhuk kali ini saya memberikan jawaban yang sok bijak padahal asline yo pingin mak byor ae banyu moto iki*

Ya Hanif tahu ada Allah. Tapi bukan itu maksudku.” 
“Trus gimana-gimana maksudmu?” 
“Ya Hanif khawatir Bunda sendirian. Kan biasanya Hanif yang jagain Bunda.” 
“Oh itu. Santai, Le. Toh, bentar lagi Bunda juga balik ke rumah Uti dan Kung. Nah, berarti Bunda gak akan sendirian kan?” 
“Duh Bunda bukan itu maksud Hanif.” Tetiba air matanya tumpah. Eh Hanif nangis. 
“Hanif cuma mau bilang, Hanif in sya Allah rida kalau Bunda menikah lagi, Hanif sudah ikhlas, Nda. Hanif gak mau lihat Bunda sedih, lihat Bunda sendirian, dan gak ada yang jagain.” Ya rabb, jadi daritadi ngajak ngomong serius itu maksudnya ini? Allahu rabbi…

Malam itu pun kami berdua berpelukan erat sambil bertangisan. Meski biasaya dia sebagai lelaki agak gengsi kalau menumpahkan air matanya berlebihan sampai sesenggukan tapi malam ini berbeda. 

Dialog malam itu begitu menghati. Saya menutupnya dengan candaan ringan seputar kriteria ayah yang ia inginkan. Setelahnya saya terus memasrahkan hati, beristikharah meminta petunjuk-Nya yang maha kasih. 

Bersambung ke bagian 2 

📸Foto candid hanya pemanis, bidikan fotografer kece Pak Su Mbak @umihanikumi saat menghadiri tasyakuran pernikahan putra Ustaz @satriahadilubis yang sayang kalau tidak diabadikan disertai tulisan.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *