“Wong urip iku ngunduh wohing pakarti” Terngiang kalimat Eyang saat
memulai
kisahnya pada kami dari kursi goyang kesayangannya sambil merajut sebuah topi
bayi dan menunjukkan
kepada kami ketiga cucunya yang sore itu ngglibet[1]
di dekatnya.
“Bagus ya? Pasti ini cocok buat Dek Ula.”
Pujinya sambil memamerkan topi bayi kombinasi warna biru laut dan putih kepada
kami.
“Nanti topi ini akan Eyang kirimkan ke
Sampit, biar dipakai sama Dek Ula.”
Begitulah
aktifitas Eyang Uti-panggilan kami cucu-cucunya untuk menggantikan kata putri
di belakang kata eyang.
“Wong urip iku ngunduh wohing pakarti. Manusia
itu kelak ketika berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Hati-hati
dengan hukum karma.” Eyang mengucapkannya sambil menerawang dengan masih
menimang benang beserta alat bentelnya.
“Mergo
sopo sing nandur, sing bakal ngunduh. Apa yang kita tanam dalam hidup kelak
akan kita panen. Kalau kita menanam benih kebaikan, kelak yang akan tumbuh dan
berbuah kemudian kita panen juga kebaikan yang sama. Sebaliknya, jika itu benih
keburukan yang kita tanam, kita pun akan memanen buah keburukan yang sama.Ini
filosofi Jawa yang harus kalian pegang.” Dieling-eling[2]
lho ya.
“Jangan sampai
kelak kalian menjadi orang-orang yang merugi karena lebih banyak memanen
keburukan daripada kebaikan.” Eyang memungkasi kalimatnya senja itu dengan
penuh penekanan sambil menepuk pundak-pundak kami kemudian mengajak kami
bergegas mengambil air wudhu karena adzan maghrib akan segera berkumandang.
***
“Sebaiknya kamu
timbang-timbang ulang keputusanmu untuk kembali ke Sampit itu, Pur!” Eyang
memandang wajah Paklek Pur dengan penuh kesedihan.
“Alhamdulillah kondisi di sana sudah mulai aman dan konflik sudah mereda.
In sya Allah Pur akan kembali ke sana, Bu. Mohon ridhonya njih[3]?”
tampak Paklek Pur takzim mencium punggung tangan Eyang sambil membungkuk.
Eyang kembali memandangi Paklek Pur hanya kali ini sambil menyeka air
matanya yang mendadak tumpah dengan sapu tangan dalam genggamannya.
“Sampun[4],
Bu. Percaya sama Pur, in sya Allah Pur di sana akan baik-baik saja.”
Terlihat Paklek Pur berdiri, menuju dapur dan kembali ke kamar Eyang dengan
membawa sebaskom air.
Eyang masih saja terlihat menyeka air matanya. Belum juga mengering, Paklek
Pur mengambil kedua kaki Eyang dan memasukkannya ke dalam baskom berisi air
tadi. Selanjutnya, rintihan tangis Eyang makin menjadi saat Paklek Pur terlihat
meminum air di baskom bekas kaki Eyang.
“Bismillahirrahmanirrahiim...Pur melakukan ini semua untuk mendapat ridho
Ibu.” Ucapan Paklek Pur seolah menikam tepat di ulu hati Eyang.
“Bu, apa lagi yang harus Pur lakukan
agar Ibu ridho?” Paklek Pur masih terus mencecar Eyang yang belum reda
tangisnya.
“Keluaaar..keluaar kamu dari kamar Ibu sekarang, Pur! Keluaaar!”
“Sabar...Sabar...njih,
Bu.” Bisik Ibu di telinga Eyang untuk menenangkan.
“Karma apa ini, Nduk?
“Siapa yang jual pekarangan bapakmu
diam-diam?”
“Siapa yang meninggalkan banyak hutang sebelum berangkat ke Sampit dulu? Pur
kan?” Eyang menekan kalimatnya penuh amarah sambil masih terisak.
“Sampun, Bu. Tidak perlu diungkit-ungkit lagi kejadian yang lalu-lalu” Ibu
mencoba menenangkan Eyang kembali.
“Ibu tidak bisa melupakannya sampai saat ini apa yang sudah dilakukannya
pada keluarga kita. Nama keluarga ini jadi jelek karena kelakukannya yang tidak
bisa diatur.”
“Tapi saudara-saudara sudah ridho semuanya, Bu. Sekarang Ibu yang harus
ridho. Ibu tidak usah berpikir bahwa ini semua karma. Keluarga kita tidak
pernah melakukan keburukan. Kalau pun diuji dengan kelakuan Pur saat ini, kita
kembalikan saja ke Allah barangkali ini memang ujian kesabaran buat keluarga
kita terutama Ibu agar menjadi manusia yang memilki derajat tinggi di hadapan
Gusti Allah, Bu.” Ibu menenangkan Eyang
sembari mengoleskan minyak tawon di kaki beliau yang dingin, menuntun beliau ke
pembaringan dan menyelimutinya.
“Sampun njih[5]
Bu, saya tinggal pulang dulu. Untuk urusan Pur biar nanti saya sampaikan ke Mas
Yon untuk menyelesaikannya. Biar Mas Yon saja yang mendudukan.” Ibu mencium takzim
tangan Eyang sambil berpamitan pulang.
Aku yang menyaksikan semua kejadian itu tak bisa melupakaa begitu saja,
seolah tersimpan rapi dalam lemari memori masa lalu.
***
Adakah yang tak memimpikan sebuah kisah
pulang yang paling indah? Menuju rabbNnya di bulan mulia dengan mudah dan
paripurna. Sakaratul maut seringan kapas, terbang bersama hempasan nafas
terakhir.
Saat sayap malaikat mendarat dengan cepat dan tepat mencabut nyawa
Eyang Putri,
di 8 Ramadhan lalu.
Laa...illaa ha illallah...sayup masih terdengar kalimat tahlil dari lisan ibu,
sambil mengecup kening Eyang yang mulai mendingin, lama.
Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun...lantuna kalimat istarji’ paling
syahdu pun
menghangatkan malam itu bersama jasad yang kemudian berangsur mendingin.
Hingga langit pagi itu berselimut duka
tampak wajah-wajah bermasker yang berjarak terlihat antara sedih dan lega.
Setelah hampir tujuh belas tahun terbaring sakit tanpa aktifitas apapun. Hingga
Pak Mudin mengumandangkan takbir, peluh tak berhenti mengalir dari pipi-pipi
kami, bukan tersebab duka yang menyelimuti, tetapi ada kesyukuran yang terus
terlantun. Kematian yang Eyang
impikan hampir semua terkabul. Allah mencabut nyawanya tepat di hari Jumat di
bulan Ramadhan, pun kondisi pandemi yang membuat adat setempat tidak
memperbolehkan untuk melaksanakan tahlil yang ini juga wasiat beliau saat masih
hidup.
Sesaat setelah kalimat talqin dibacakan, terbang bersama hembusan bayu dan membawa
para pelayat kembali ke rumah masing-masing. Kutemukan kamboja luruh tepat di
atas pusara Eyang. Hanya
tertinggal Dek Ula pemuda tampan putra
sulung Paklek Pur satu-satunya yang
belum beranjak dari pusara Eyang, tampak khusyu’ berdoa. Sekelebat bayangan Paklek Pur mampir di benak,
tak kutemukan batang hidunganya ada di antara kami. Sayup-sayup seoalah terlantun kidung utang
rasa milik Sujiwo Tejo.
Urip…urip…urip...mung sadelo
Urip mung sadelo, mampir
ngombe, mbayar utang, utang
roso
Selesai
Lumajang, 26 Ramadhan 1441 H
0 komentar:
Posting Komentar