“Pakleeeeek! Pundi paklek Nardi? Buleeeek, Bulek Pardi!”[1]
Tiba-tiba
dari luar kamar terdengar suara gaduh. Tampak Mbak Mariyati tergopoh-gopoh,
dengan handphone masih di genggaman.
Dalam kondisi gugup dan menunjuk-nunjuk ke arah handphone yang ia pegang sambil berteriak memanggil-manggil bapak
dan ibu. Sontak beberapa kerabat dekat yang sedang khusyu’ menunggu mempelai
pria untuk ikut menyaksikan prosesi akad nikah yang sakral pun berhambur
keluar. Ibu mendudukan Mbak Mariyati di sebuah kursi. Dan menenangkannya dengan
memberikan segelas air. Mbak Mariyati hanya meminumnya sececap, kemudian
terlihat berusaha mengatur nafas yang masih terdengar menderu-deru.
“Onok opo tho, Mar? Alon-alon yen arep crito!” [2] seperti
biasa ibu bertutur pelan sambil menggosok-gosok punggung Mbak Mariyati.
Sementara bapak sudah tampak khawatir dan gelisah. Aku yang semula mendengar
kegaduhan itu dari dalam kamar, ikut
berhambur demi memenuhi rasa penasaran yang menggunung.
“Narti budhe, pakde, Narti!” Sejenak tangisnya pecah mengisi keheningan yang
tercipta.
“Huhuhuhuhuuuu...Narti,
Budhe...Narti.....hhhuuuuuuhuuuuuuu!” isaknya memenuhi ruangan sambil
memeluk erat ibu.
“Eh dasar bocah edan!” [3] bicara yang jelas! Kenapa Narti, heh? Narti itu sudah
bukan urusanku dan urusan keluarga ini lagi, ngerti kamu Mar!” semprot bapak kepada Mbak Mariyati.
“Sssstttt,
Pak! Sebaiknya kita dengarkan dulu cerita Mariyati sampai selesai ya?” seloroh
ibu sambil mengatupkan bibir dan menempelkan jari telunjuknya. Kali ini bapak
bergeming, meski dari rona wajahnya tak bisa dibohongi, bapak makin gelisah dan
berkali-kali melihat ke arah jam dinding di dalam rumah yang terus bergerak,
tapi rombongan keluarga Ilham belum juga terlihat batang hidungnya.
***
Kupu-kupu putih itu datang lagi. Putihnya cantik, bukan
putih biasa tapi putih memplak kata
orang Jawa. Selalu saja ada hal menarik dari makhluk cantik ini. Kehadirannya
di rumahku membawa filosofi tersendiri bagi penerjemahnya. Ibu suka bercerita
tentang kupu-kupu yang diambil dari primbon Jawa. Kata ibu kupu-kupu yang
datang ke rumah itu bisa diartikan sebagai tamu atau akan datangnya rezeki,
tapi di lain waktu ibu bercerita kehadirannya bisa menjadi sebuah pertanda akan
datangnya musibah. Dongeng tentang kupu-kupu itu seolah terus meresap di alam
bawah sadar, aku manggut-manggut dan membayangkan rupa tamu spesial yang
dimaksudkan pun ikut begidik saat ibu menceritakan perihal musibah yang
dimaksudkan adalah kematian.
Seiring berjalannya waktu, dongeng tentang kupu-kupu
mulai tak kupercayai lagi. Karena sampai di usia yang kian senja tak jua
kutemukan korelasi hadirnya kupu-kupu dengan tamu spesial yang dikabar-kabarkan
akan bertandang. Pun musibah yang dimaksudkan.
Dongeng kupu-kupu berdenging lagi di telinga saat
mengingat Yu Narti. Kupu-kupu malam, orang-orang di desa sering kasak-kusuk
menyebut Yu Narti demikian. Aku membayangkan betapa cantiknya kupu-kupu malam
itu pasti berkilauan, sama cantiknya dengan Yu Narti. Kupu-kupu malam terbang
ke sana-kemari diiringi serombongan kunang-kunang yang menyala-nyala. Tapi aku
tak suka kunang-kunang karena kata ibu kunang-kunang itu berasal dari kukunya
orang mati dan aku mempercayainya sampai kini. Sungguh bodohnya aku. Mengingat
Yu Narti ada sesuatu yang kemudian luruh bersama rintik air mataku. Rindu.
“Buk, Yu Narti apa nggak pulang riyoyo [4]ini?”
“Mbak Yu mu mungkin belum punya ongkos untuk pulang,
Nur.”
Aku sebenarnya sudah tahu pasti jawaban itu yang akan
diberikan oleh ibu setiap kali aku bertanya tentang kapan Yu Narti pulang. Tapi
aku tetap saja memutuskan untuk bertanya, meski setelahnya aku pasti menemukan
mata sayu ibu berkaca-kaca sambil memalingkan muka.
Aku pun bergegas menuju dapur,
menata balok-balok tempe yang usai dipotong oleh ibu sebelum shubuh tadi dan
memasukkannya ke dalam tas mirip anyaman jerami berbahan plastik murahan.
Setelah mandi dan berseragam rapi, sejenak menunaikan sholat shubuh, sampai
teriakan ibu yang mengalahkan radio rusak itu menghantam-hantam telinga.
“Nuuuuur,
Ayo budal!”[5]
“Iya, Buk!” Aku tergopoh dengan
memungut tas ransel yang sudah kumal pemberian juragan Eni anak Pak Haji Soni
yang terkenal dermawan di desa. Sampai tak sempat mengaitkan tali-temali sepatu
yang terburai dan tak kalah lusuh.
Jika melihat mata sayu ibu, aku sering merasa tak tega
untuk meninggalkannya sendirian. Demi mendapatkan rupiah untuk menopang
kehidupan kami sehari-hari, ibu rela tirakat.
Lalu, ke mana bapak? Mungkin pagi ini bapak masih asyik dengan irama
dengkurnya berselimut sarung hijau kesayangan. Sungguh, jika dia bukan lelaki
yang selama ini kutakzimi sudah kusumpal mulutnya yang lebih mirip asbak itu
dengan gombalan dapur. Astaghfirullah,
aku cepat-cepat menyingkirkan niat jahatku kepada lelaki tua itu. Meski begitu,
beliau tetap bapakku. Sekelebat nasehat Pak Yasin guru agama di sekolah membuat
aku kembali tersadar. Seburuk apapun orang tua kita, tugas kita kepada mereka
adalah berbakti. “Duh gusti Allah, nyuwun
ngapuro!”[6] kalimat itu terus berdesakan memenuhi batin.
Apalagi saat Yu Narti memutuskan untuk menjadi TKI ke
Malaysia, itu karena dadanya sudah tak kuat ingin meledak jika masih tetap
tinggal di rumah yang mirip neraka ini. Sudah hampir dua puluh tahun Yu Narti
tidak pulang ke desa. Setelah dianggap mempermalukan keluarga karena menikah
dengan seorang pejabat teras di bawah tangan.
“Nyingkreh kowe
teko omah iki, Nar!”[7] Bapak tidak akan mengakui kamu anak.
Kamu sama saja dengan membasuh wajah bapak dengan kotoran!”
“Narti masih lebih terhormat Pak, daripada Bapak. Selama
ini bapak kemana saja? Kenopo mung ibuk
sing getap nggolek upo?”[8]
“Sudah pintar menjawab kamu sekarang!” tangan bapak
hampir mendarat di pipi Yu Narti tetapi ibu segera menghardik disertai dengan
tangisan yang mirip jeritan sambil menyerahkan
pipi kanannya ke arah telapak tangan bapak.
“Sudah, Pak! Cukup, Pak! Ini saja, ojo Narti sing
mbok wasuh[9]!”
rujuk ibu yang tak tega melihat Yu Narti akan disakiti bapak sambil kemudian
bersimpuh di kaki bapak.
“Ndang minggat
kono!”[10] Jangan sampai
kamu menginjakkan kakimu di rumah ini.
Minggaaaat!”[11] telunjuk bapak
menunjuk-menunjuk ke muka Yu Narti dengan bola mata memerah penuh amarah. Aku
yang saat itu baru duduk di kelas 4 SD hanya bisa ikut-ikutan sesengguan
menyaksikan adegan yang sungguh aku tak paham maksudnya sambil memeluk erat ibu
yang juga tak berdaya melawan bapak.
***
Dua puluh tahun sudah Yu Narti meninggalkan desa menjadi
TKI di Malaysia. Hanya sesekali aku mendengar kabarnya itupun dari Mbak
Maryati, putri pak RT yang merupakan sahabat Yu Narti sejak kecil. Dongeng
kupu-kupu lagi-lagi menyeruak dan berdenting-denting memenuhi rongga ingatan
dan menyisakan pertanyaan,
“Kapankah tamu sepesial itu akan datang?”
Di antara denting itu ada kerinduaan yang menyeruak,
berharap keajaiban datang, Yu Narti pulang ke kampung halaman. Bukan ingin menuntut
balas akan perilakunya yang tak waras. Diam-diam aku turut mengiyakan keputusan
bapak mengusirnya dari rumah. Hingga aku membuat sebuah kesimpulan, karena
ulahnyalah di masa lalu aku jadi tak laku-laku. Bahkan di usiaku yang sudah
menginjak tiga puluh. Yu Narti harus bertanggung jawab atas semua ini. Ah,
kupu-kupu malam, ternyata aku membangun imajinasi di masa lalu yang keliru.
Sampai membuat getir dan menangisi
takdir.
“Lelaki seperti apa lagi yang kamu cari, Nur? Bapak dan
ibu sudah semakin menua. Setiap ada laki-laki baik datang kamu selalu menolak?
Mau jadi perawan tua?”
Untuk kesekian kali bapak dengan suara melengking selalu
membuat hati ngilu. Pun kalimatnya serupa bon cabe level tiga puluh, pedas
hingga merasuk ke ulu hati. Makin ngilu. Untuk kesekian kalinya aku tenggelam
dalam kesedihan yang mendalam sepulang rombogan keluarga Ilham bertamu.
“Nur hanya
mencari seorang imam, Pak?” seandainya ia berani mengatakan kalimat itu tetapi
seperti ada yang terhenti dalam kerongkongannya yang kering. Kisah Yu Narti
cukup menjadi pengalaman pahit tercerai beraikannya keluarga kami. Aku tidak
ingin berkonflik secara terbuka dengan bapak, meski sejak sedekade lalu bapak
sudah mulai sedikit berubah. Bapak mulai memiliki tanggung jawab mencari nafkah
dengan mengelola peternakan bebek milik Haji Soni.
Mugkin benar,
dongeng tentang kupu-kupu itu dongeng di masa kanak-kanak. Tetapi kenapa masih
sering berdenging di kepala? Apa karena sudah sekian lama aku mempercayainya
menjadi sebuah mantra dalam kehidupan nyata?
Seperti kemarin,
sebelum keluarga Ilham bertandang ke rumah aku menjumpai kupu-kupu berwarna
coklat keemasan bertengger pada rerimbunan bunga di depan teras rumah. Benakku
kusut, sekusut tanda tanya besar yang memenuhi kepala yang tiba-tiba berdenyut.
“Benarkah Ilham
tamu spesial itu? Yang selama ini kutunggu-tunggu untuk menjadi penyempurna
agama?” aku memekik sendiri dan kelabakan menjawab rentetan pertanyaan membabi
buta ini dari ruang hati yang lain.
***
Roncean
bunga melati lengkap dengan kembang kantil tampak segar terpasang di atas
kerudung putih yang kukenakan, tetapi sebaliknya dengan hatiku. Layu.
Sambil
menunggu keluarga mempelai pria hadir, dari dalam kamar aku mulai gelisah.
Nyanyian tentang dongeng kupu-kupu itu berdenting kembali. Aku berusaha untuk
tak mempercayainya lagi. Tetapi, semalam aku bermimpi bertemu seekor kupu-kupu
berwarna coklat keemasaan yang terluka. Ia tergeletak di lantai kamar yang
dingin, sesekali bergerak sedikit. Aku mengambilnya dan meletakkan di telapak
tangan. Baru tersadar kemudian kalau sayap kupu-kupu itu patah sebelah. Hingga
kedatangan Mbak Mariyati di tengah-tengah keluarga kami menciptakan duka.
“Lanjutkan,
Mar!” ibu kembali mempersilakan Mbak Mariyati bercerita.
“Narti,
Budhe...saya baru saja mendapat kabar Narti dari Malaysia. Narti pun mboten wonten umur, Budhe!” [12]
“Innalillahi
wa inna ilahi roojiuun...” serentak keluarga yang mendengar kabar itu
mengucapkan kalimat istirja’.
Pertahanan
ibu jebol, terhuyung dan terjatuh dari kursi. Pingsan. Bergegas kerabat
membopongnya ke dalam rumah menuju pembaringan. Sementara aku, serasa tak
percaya dengan kabar ini, masih berdiri mematung di depan pintu sambil tergugu.
Nyanyian
dongeng tentang kupu-kupu itu datang lagi. Aku terkesima, melanjutkan kisah
kupu-kupu dalam mimpi semalam. Yah, kupu-kupu coklat kekemasan itu, setelah
kutahu sayapnya patah sebelah, bergegas kubuka jendela kuletakkan di bagian
daunnya, tetap saja ia bergeming. Tak sampai semenit aku kemudian mendapatinya
sudah tak bernyawa. Nyanyian kupu-kupu terus berdenging, tapi aku percaya bahwa
ini semua adalah takdir dari sang Maha Kuasa.Dalam tengadah, saat lagit masih
terlihat cerah berhambur sepasang kupu-kupu putih memplak menyembul dari balik rerimbun harum bunga melati.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar