Prank dan Hadiah Allah saat Ramadhan


Saya menyerahkan selembar surat perjanjian hutang piutang dalam map bening disertai materai senilai enam ribu yang siap ditempel. Tetapi pertahanan saya runtuh, setelah detik-detik berlalu, Allah hadiahkan sesuatu yang tak pernah saya duga sebelumnya. Allahu rabbi...ya rahman...ya rahiim...ya rozaq...ya ghoffar...

 Kisah ini sebenarnya terjadi di ramadhan tahun lalu, tapi hikmahnya masih terasa hingga ramadhan tahun ini. Betapa mentadabburi ayat-ayat kauniyahnya tak pernah ada habisnya.
Sebagai pegiat di beberapa komunitas pemuda, saya memiliki mimpi untuk membuat sebuah even bertajuk ala-ala hijrah fest di kabupaten kami, Lumajang. Berbekal sedikit pengalaman mendirikan sebuah EO abal-abal saya sangat bermimpi mengundang Ustadz Hanan At Taki ke Lumajang. Impian itu tinggal impian hingga saya dipertemukan dengan seorang wanita pengusaha property yang cukup terkenal di Lumajang. Setelah hampir dua tahun saya menggantung mimpi, dari pertemuan dengan beliau saya merasa ada angin segar mimpi saya akan segera terwujud.

Proses pedekate pun berlanjut, hingga kemudian saya merasa belum mampu mengelola even besar tanpa melibatkan pihak yang berpengalaman. Ingatan saya kemudian terbang ke masa dua tahun silam, saat seorang ketua dari komunitas pemuda yang baru berdiri di Lumajang dan sukses menggelar even color run bekerja sama dengan Dispora, terbilang sukses besar. Perkenalan saya bermula dari seorang teman yang merekomendasikan saya untuk bergabung dalam even Hijab Fair yang akan mereka gelar. Kenapa saya? Karena saya yang saat itu menjabat sebagai ketua FLP Cabang Lumajang dianggap memiliki akses ke penulis besar sekaliber Mbak Asma Nadia. Ceritanya teman-teman ini di even tersebut akan mengundang Mbak Asma Nadia dan menawarkan kepada kami sebagai vendor. Gayung bersambut, setelah saya membaca proposal mereka dan komunikasikan dengan tim pengurus FLP, mayoritas setuju untuk melanjutkan kerja sama ke jenjang yang lebih serius. Rencana tinggallah rencana, sang ketua menghilang dan baru memberikan kabar kalau even Hijab Fair tidak jadi digelar setelah saya mengontaknya via watshapp.

Hingga saat deal dengan Mbak penguasaha oke, saya bermaksud mengajaknya kerja bareng untuk mengadakan even mengundang Ustadz Hanan At Taki yang saya mimpikan sejak lama ini. Waktu yang dinantipun tiba, kami bertiga berkesampatan meet up di sebuah rumah makan mewah di Lumajang. Hingga berakhir pada kesimpulan even ini akan segera terealisasikan dengan pihak penguasaha tersebut sanggup menjadi sponsor meski bukan sponsor tunggal.
Selanjutnya, pertemuan untuk membahas konsep detail dengan tim kecil sampai pembentukan panitia inti alhamdulillah berjalan lancar dengan mempercayakan sang ketua komunitas yang juga bekerja di EO besar Seven Dream ini menjadi ketua pelaksana.

Dari Sini Ujian itu Dimulai...
Namun semua seakan berbalik 180 derajat saat pak kapel selesai bertemu dengan tangan kanan bupati (menurut penuturannya sih) bahwa even kami terncam gagal karena tercium aroma politis yang sebenarnya hanya dibuat-buat. Mengingat saat itu gelaran pemilu legislatif juga sudah selesai. Aneh bukan? batin saya saat itu. Tapi dasar, menurut teman-teman karena saya itu orangnya lugu dan naif banget pun kelewat baik, saya tidak pernah menduga bahwa itu strateginya untuk menjegal saya sebagai inisiator even ini. Dan, kesimpulan ini baru kemudian saya dapat setelah dia terang-terangan mendholimi saya.

Hingga dia mengubah keseluruhan konsep yang tentu saja untuk kelas Lumajang butuh kerja keras dan cerdas demi mendapatkan peserta apalagi berbayar. Konsep satu bintang tamu ia setting menjadi banyak bintang tamu, dan lagi-lagi saya harus nalangi DP dan akomodasi dari pengisi acara itu  karena uang tiketpun belum mencukupi untuk menutup semua.

Sampai hari H pun kondisi tidak membaik, semua konsep ia ubah semaunya. Saya hari itu benar-benar dipermalukan karena ditegur oleh dua orang sekaligus, istri bupati dan ibu wabup sendiri. Suasana kepanitianpun kami rasakan tidak nyaman, bahkan terbagi menjadi dua kubu. Kubu teman-teman komunitas dan kubu kami yang tak sekedar membuat even ini berbuah profit an sich, sebaliknya ada misi dakwah yang kita bawa di sini.

Dan, setelah beberapa hari di saat-saat persiapan air mata saya seolah mengering. Puncaknya, di hari H itu pertahanan saya jebol, tangis saya pecah. Bukan kerena apa-apa, tetapi lebih pada meratapi kebodohan saya. Di saat adzan maghrib berkumandang, saya bersimpuh di hadapanNya, memohon ampun atas segala cela diri yang merasa sok tangguh ini padahal rapuh. Tapi ya sudahlah. tak ada yang perlu ditangisi lagi, toh nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana kita membuat bubur itu menjadi bubur spesial. Tentu Allah punya maksud dengan memberikan saya pelajaran seperti ini.

Motor Beat dan Ikhtiar Lagit 
Kisah di atas belum usai. Saat di beberapa hari kemudian nomor yang tak dikenal menagih sejumlah nominal yang menurut saya sangat besar. Tiga belas juta tiga ratus rupiah, pemilik nama Roni itu memfotokan sebuah nota yang belum terlunasi untuk panggung pertunjukan lengkap dengan baricade-nya, sound system dan lighting. Saya kemudian berinisiatif mengumpulkan teman-teman panitia untuk membicarakan tanggungan ini setelah tiga hari yang lalu, pihak sponsor dari perusahaan property hanya sanggup menutup sebesar 10 juta dari hampir 100 juta pengeluaran panitia. Seorang aspri dari pihak perusahaan yang dihadirkan untuk membersamai kami dalam rapat evaluasi juga tidak bisa memberikan solusi karena sejak awal kami tidak membuat MoU hitam di atas putih.

Dan selanjutnya, siapa yang harusnya bertanggung jawab? Semua sepakat akan bersama-sama bertanggung jawab akan segala kekurangan ini, tetapi sebaliknya teman-teman panitia dari kubu komunitas tak berkenan pun ketua pelaksananya sendiri cenderung cuci tangan akan hal ini. Saya sempat mengumpat dalam hati,

"Hai banci, kalau kamu nggak mau pasang badan untuk teman-teman dan kepanitian ini, segeralah berganti jenis kelamin jadi perempuan!"  Astaghfirrullah, cepat-cepat saya tepis dan hanya bisa menunduk penuh amarah meski tak bisa berkata apa-apa.

Tepat di sepuluh hari terakhir Ramadhan, di malam 25 watshapp dari Roni mampir lagi. Pun sederet kalimat sumpah serapah dari seorang asisten wabup seolah ikut bertepuk tangan dan menuntut tanggung jawab saya untuk segera membayar tanggungan dari kegiatan yang gagal total. Sampai akhirnya saya kemudian memutuskan harus pasang badan, memfotokan KTP sebagai bukti bahwa tiga hari lagi saya akan kembali dengan membawa sejumlah uang tangungan itu.

Keesokan harinya kondisi kesehatan saya mendadak drop, saya merasakan lemas yang luar biasa hanya tak bisa sedikitpun makanan masuk ke tubuh saya. Bayangan dana tiga belas juta tiga ratus rupiah akan saya dapatkan dari mana? Hingga di pagi dhuha itu saya meminta kepada Allah dengan tengadah paling tinggi, dalam posisi terendah, pun dalam pinta sepinta-pintanya. Karena saya tak tahu lagi harus meminta tolong ke siapa jika bukan kepadaNya?Rabb Maha Tinggi dan Maha Kaya.

Orang tua? jelas tidak mugkin, saya akan menambah beban mereka sementara selama ini saya belum bisa membahagiakan keduanya. Hanya satu keyakinan saya dalam sujud terkahir itu, bahwa Allah tidak pernah tidur dan mengetahui semua yang terjadi pun siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya hanya berpasrah. Terus menangis, hingga sajadah saya basah dan menyisakan sembab di kedua mata saya. Hingga saat Roni watshapp saya lagi, entah kekuatan dari mana kemudian saya mengetikkan bahwa saya akan menjaminkan sebuah motor beat kepadanya dan akan menemuinya dalam jangka waktu 3 hari ke depan.

Ya rabb, jujur saya ngetik cerita ini sambil nangis. Karena tetiba bayangan sebuah motor beat berwarna putih keluaran tahun 2015 yang belum juga lunas terparkir di teras rumah. Hanya itu satu-satunya benda berharga yang saya punya. Dan, saya berniat akan menjualnya.



Ikhtiar Bumi sebagai Solusi dariNya

Dalam masa-masa itu, ikhitar langit terus saya kencengi hingga saya kemudian berpikir perlu sepertinya saya berbicara kepada orang yang saya percaya. Saya tidak mungkin menyimpan rapat semuanya sendiri setelah hampir dua belas juta dana pribadi saya juga ikut terpakai untuk membayar fee para narasumber. Ya sudahlah saya pikir ini adalah biaya untuk saya membayar mahal pengalaman yang tidak akan saya lupakan dalam hidup saya, dan saya harus bisa mengambil hikmahnya agar tidak terulang untuk kedua kalinya. Saya sudah mulai berdamai dengan perasaan meski asam lambung saya terus meningkat karena sedikit sekali asupan energi yang masuk ke dalam tubuh.

Dan, sebada qiyamul lail malam itu tetiba saya teringat binaan saya yang beberapa hari lalu datang ke rumah untuk menitipkan sejumlah zakat untuk dibagikan ke tetangga sekitar rumah. Binar matanya menyiratkan kebahagian yang amat sangat saat bertutur tentang usahanya yang mulai membuahkan hasil hingga bisa berlebih dengan berzakat seperti sekarang. Sebagai seorang saudara seiman tentunlah saya ikut merasakan kebahagiannya. Hingga entah keberanian dari mana, saya yang paling anti untuk berhutang kepada orang lain ini, meski dalam kondisi kepepet sekalipun (bisa ditanyakan ke teman-teman terdekat saya, meski sedekat apapun saya dengan mereka saya tidak pernah meminjam uang mereka) seolah ada yang menggerakkan jari saya untuk menyampaikan tentang masalah yang saya hadapi dan solusinya adalah dengan meminjam kepadanya dan akan menciclnya sejumlah satu juta perbulan selama 13 bulan. Sebada shubuh itu rasanya ada yang tetiba ringan dari kepala saya yang beberapa hari terakhir ini terasa sangat berat.
Hingga menjelang pagi, balasan watshappnya membuat saya terlonjak tak percaya.

"Baik Mbak, ini tadi sudah saya bicarakan dengan suami dan beliau mengizinkan. In sya Allah ini uangnya ada di rumah tapi kami tidak bisa menttransfer hari ini. Jika Mbak berkenan ambil ke rumah ya."

Allahu Akbar! Ya rabb...saya tersungkur dalam sujud panjang dan memungkasi dhuha hari itu dengan penuh ucapan syukur meski secara manusiawi sempat mikir, nanti saya nyicil tiap bulannya ngambil dari pos mana ya? Sementara pos gaji dari pensiunan suami dan menjadi seorang relawan itu sudah 'pas' untuk konsumsi sehari-hari. Bismillah, saya kuati lagi keyakinan saya bahwa Allah akan membantu saya. Apa yang sulit bagiNya? Butiran bening cepat-cepat saya seka. Bersiap menuju rumah adik binaan dengan dibersamai seorang akhwat sholihah yang jadi ojek saya.

Prank Sepenuh Cinta yang Tak Terduga 
Saat di perjalanan saya meminta berhenti sejenak untuk membeli map dan materai. Selembar surat perjanjian hutang piutang sudah saya ketik rapi. Saya masukkan ke dalam map bening beserta materai senilai enam ribu rupiah.
Perjalanan kami tempuh sekitar empat puluh lima menit menuju kediamannya yang memang jauh dari pusat kota. Sesampainya di sana, saya di sambut oleh ayah dan ibunya yang sudah seperti saudara. Kenangan dan rasa balas budi masih menyeruak di keluarga ini karena berbilang tahun saya yang waktu itu membantu proses pernikahan putrinya, alhamdulillah berbuah jodoh dariNya.

Setelah ngobrol basa basi ala emak-emak, sampailah pada tujuan inti. Sejenak saya rogoh tak ransel yang sedari tadi meringkuk pasrah di kursi kayu ruang tamu. Tampak map bening berisi surat perjanjian hutang piutang lengkap dengan materai enam ribu, saya serahkan kepadanya setelah saya memberikan pengantar seperti yang saya sampaikan via watshapp setadi shubuh. Dengan bergetar bercampur malu dan perasaan tak menentu saya menunggu respon yang akan diberikan setelah mengetahui isi map yang saya sodorkan.Di luar dugaan, ia hanya tersenyum simpul dan meletakkan map itu di atas meja ruang tamu. Berdiri dan meminta izin ke dalam untuk mengambil sejumlah uang yang ia janjikan.

Sekembalinya ke hadapan kami, ia membawa amplop coklat dan meletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian ia ambil kembali surat perjanjian hutang piutang itu, membacanya sekilas dan sambil tersenyum mengembalikan kepada saya.
"Ini buat Mbak saja, saya nggak butuh ini. Hanya saya ingin Mbak memenuhi permintaan saya ya Mbak."

Saya yang dalam kondisi tegang, makin tidak mengerti yang dia maksudkan. Si akhwat sholihah yang duduk di sebelah saya pun yang tak tahu menahu soal pertemuan saya ini juga terlihat bingung meski sejak tadi ia menyimak obrolan kami, saya pikir kemudian ia mulai mengerti tanpa saya bercerita kepadanya.

"Jadi begini Mbak, ini hasil rembugan saya dengan suami. Sudah sejak lama saya dan suami ingin membantu menghajikan Mbak, tapi Allah masih menundanya. Barangkali ini adalah waktu yang tepat untuk kami menunaikan nadzar kami ini".

Saya hanya bisa melongo mendengar penuturannya kali ini, pun butiran bening nan hangat tak terasa jatuh di pipi. Dan masih terus memandanginya tak percaya dia kembali bertutur.

"Di amplop ini ada sejumlah uang yang cukup untuk biaya mendaftar haji. Silakan Mbak pakai dana itu untuk menyelesaikan urusan Mbak itu, sisanya silakan ditabung untuk haji. Mbak juga nggak perlu bayar hutang ke aku, cukup bayarkan ke rekening tabungan haji itu. Begitu ya Mbak?"
tak terasa air mataku makin menderas, masih tak percaya dengan usapannya. Ia pun kembali berkata sambil tertawa penuh kemenangan.

"Horee, Mbak kena prank!"
Ya rabb, lalu masihkah hamba menjadi hambaMu yang tak pandai mensyukuri nikmatMu? Langit jingga Ramadhan kedua puluh tujuh menyisakan sebuah pembelajaran penuh hikmah dalam hidup, dalam remang kamar di sepertiga malam, kulantunkan Ar Rahman dengan mata terpejam: Fa biayyi alaa irobbikumaa tukadziibaan...

Sungguh kasih sayang Allah melimpah ruah, tak cukup Dia memberiku kejutan di siang itu. Di malam takbir yang begitu syahdu Allah memberi sebuah kejutan lagi. Sebuah watshapp dari seorang teman, megirimkan foto nota pelunasan honda beat. Allahu Akbar! Fa biayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan...


Wallahu a'lam bishowab...

Terima kasih ya rabb, hari ini Engkau beri hamba kekuatan untuk menggerakkan jari-jari ini menuliskan sedikit dari ayat kauniyahMu yang begitu terhampar di muka bumi ini. Semoga tulisan ini kelak menjadi pengingat bagi penulis untuk selalu memprioritaskanMu di atas makhluk. Dan bagi yang membaca kisah ini, mudah-mudahan bisa mengambil hikmah yang tertuang. Adapun foto dokumentasi yang tertera itu sebagai upaya untuk terus memuhasabahi diri, bahwa diri ini makhluk yang lemah jika tanpa campur tanganNya niscaya tak berarti apa-apa. Laa haula walaa quwwata illah billah...

Lumajang yang syahdu dalam remang kamar mengingat kebesaranMu, 12 Ramaadhan 1441H 

Sumber gambar: pinterest 


#inspirasiramadhan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-5



0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *