MEMUPUK EMPATI MENJADI RELAWAN INSPIRASI

 


Edisi syuting video edukasi covid-19 di sekitar Desber

Masa Kecil yang 'Aneh' 
Saya selalu tak kuasa, melihat ketimpangan sosial dan ekonomi di sekitar lingkungan tempat saya tinggal. Meski tidak terlahir dari keluarga berada, tetapi saya masih lebih bersyukur atas kondisi keluarga saya yang terbilang cukup menurut saya. Bahkan sejak kecil, ibu seringkali menemukan saya dalam kondisi menangis tersedu-sedu saat melihat anak tetangga sakit. Saat itu saya masih duduk di kelas 5 SD, sepulang mengaji di surau, saya menyaksikan seorang anak tetangga yang sedang batuk nggak berhenti-henti sampai matanya memerah dan nampak napasnya berat. Entah mengapa ketika saya berhenti di depan pintu rumahnya, menyaksikan semua pemandangan itu termasuk ceracau orang tuanya yang tak berhenti mengomeli sang anak karena tak sanggup membelikannya sirup obat batuk rasa cerry di apotek terdekat seperti yang biasa saya minum. 
"Oalah, Nduk...Nduk tak pikir kowe dijiwitt karo Nanang." – Oalah, Nduk...Nduk...saya pikir kamu dicubit Nanang. Begitu komentar ibu memungkasi tangisan saya yang mirip anak baru dicubit. Nanang adalah tetangga belakang rumah saya yang nakalnya nggak ketulungan. 

Setelah itu ibu pasti memeluk saya erat, sambil merapikan ujung-ujung rambut saya yang basah oleh air mata. Selanjutnya, ibu pasti bercerita tentang hal-hal yang membuat saya terpaksa melengkungkan bibir hingga kemudian tak sadar ikut tertawa. Tapi setelah itu masih saja kepikiran nasib anak yang batuk-batuk tadi. Dulu, bulek yang tinggal serumah dengan kami selalu menganggap saya aneh saat menangis yang menurutnya nggak jelas. Hanya almarhum pakde yang suka membela, "Arek iki ngono atine alus." –anak ini memang hatinya halus. sambil menghadiahi saya seplastik kiloan pentol bakso disertai kecupan dan gendongan sesaat. So sweet... 

 Menjadi Relawan Pengajar TPA 
Saat saya menjadi mahasiswi saya terpanggil untuk menjadi relawan di sebuah yayasan sosial di kota Malang. Ikut turun mengajar TPA di kampung yang masuk gang sempit, tepatnya di daerah Kelurahan Kidul Dalem. Di sana terdapat sebuah musala yang berada di atas genteng rumah orang. Masya Allah, jika mengingat hal itu tak terasa butiran bening tiba-tiba jatuh. Pun, kerasnya karakter orang di sana membuat saya bergidik. Apalagi setelah kernet angkot bertanya kepada saya, mengapa saya sering turun di depan gang yang menurut penuturan kernet itu adalah kampung preman. 

Namun, hal yang saya perkirakan tak pernah terjadi seperti penuturan kernet angkot itu bahkan saya merasa memiliki keluarga baru. Tak jarang mereka ikut mengajak saya untuk sekedar mencicipi makan siang saat saya kebetulan singgah di rumah petak salah satu keluarga yang hanya memilki satu ruangan serba guna, 5 in 1 kalau boleh saya bilang. Di ruang petak 3x2m itulah mereka menjalani aktifitas sehari-hari. Ruangan itu benar-benar multifungsi sebagai ruang tamu, tempat tidur, dapur, sampai tempat makan sekaligus.

Lalu bagaimana dengan kamar mandi? Mereka bisanya melakukan MCK di kamar mandi umum yang terbatas hanya 2 kamar mandi untuk hampir 30-an lebih kepala keluarga. Ya rabb, saya sering sedih kalau mengingat hal ini, tetapi terkadang juga senyum-senyum sendiri saat harus rela menahan rasa ingin buang air kecil karena harus mengantri. Eh, adik-adik TPA malah menyarankan saya untuk buang air kecil di sungai, hahahaha... 

Sampai salah satu dari mereka dengan logat Malang melotot ke teman-temannya atas tawaran temannya tersebut. "Kok iso lho arek iki, Mbak e kan pake kerudung gedhe gitu kon kongkon nang kali. Mikiro ta awakmu rek!"-Kok bisa sih anak-anak ini menyuruh Mbak yang memakai jilbab besar buang air di sungai. Mikir dong. Jadi merasa konyol kalau mengingat ini. Wkwkwkwkw... 

Tak hanya itu, meski masih mahasiswi semester dua saya juga menjadi tempat curhat para ibu dari adik-adik TPA yang saya ajar. Dari mulai soal kenakalan anaknya sampai masalah tanggungan hutang konsumsi sehari-hari mereka tak canggung menceritakan. Saya juga heran, di masa itu hidup saya benar-benar berwarna sampai pernah harus bolak-balik empat kali naik angkot demi mengurus uang SPP salah satu siswa yang terancam dikeluarkan dari sekolahnya dan sendirian pula datang ke sekolahnya sampai saya dikira kakaknya. Duh, kemana gerangan sekarang sosok anak itu ya? 
Semoga jadi manusia yang bermanfaat dunya wal akhirah. Amin...
Aktifitas sosial bersama si rompi biru
 
Mindset: Relawan Bukan Pekerjaan 
Pada tahun 2015 silam saya tak pernah berpikir untuk menjadikan profesi relawan ini menjadi sebuah pekerjaan. Hingga pada suatu hari seorang teman menawari saya untuk menjadi petugas entry data ZISWAF selama bulan Ramadhan di sebuah lembaga sosial PKPU. Pasca Ramadhan saya diminta untuk kembali ke lembaga tersebut karena direktur dan pihak lemsos merasa 'puas' dengan kinerja saya, katanya sih begitu. Heu...heu..heu...terharu. 

Di lembaga ini saya benar-benar belajar dari nol. Karena saya tak pernah punya pengalaman sebelumnya bekerja di sebuah lembaga sosial. Adapun saya pernah menjadi relawan hanya sebagai tenaga lepas yang tidak ikut campur dalam hal menajemen. Namun, saat ini saya harus ikut memikirkan manajemen pengelolaan donatur dengan membuat sebuah program yang menarik agar menjadi donatur tetap. Nah, sungguh tantangan baru buat saya. Saya menemukan keseruan saat bisa bersentuhan dengan kaum menengah ke bawah yang membutuhkan uluran tangan. Keseruan itu juga saya rasakan saat Ramadhan. Kami berkeliling ke pelosok-pelosok kampung dan desa untuk mendistribusikan zakat dari para donatur ke masyarakat langsung. Jika di sepuluh hari terkahir Ramadhan teman-teman pada khusyu' i'tikaf di masjid, berbeda dengan kami yang masih harus rela lembur sampai pagi untuk menuntaskan laporan setoran ZIZWAF ke kantor wilayah. Hal ini kadang membuat orang-orang di sekitar saya gerah, bahkan seringkali nyeletuk begini, "Emang berapa sih gajimu kerja di situ?" Wajar mereka berkata seperti itu karena melihat aktifitas saya yang tak pernah ada "matinya". Kalau diibaratkan baterai, mungkin menurut mereka saya ini jenis baterai energizer. Uhuy... 

Perlu digarisbawahi bahwa relawan itu bukan sebuah pekerjaan, tetapi lebih pada panggilan hati. Air mata saya menderas saat mengatakan ini, bukan tanpa sebab bahkan pernah malam-malam rumah saya diketuk oleh seorang warga RW sebelah. Saat itu saya masih tinggal bersama orang tua, beliau kaget saat tengah malam mendapati anaknya ada yang mencari, seorang laki-laki asing bertato. Serem kan?
Kolaborasi PKPU dengan YBM BRI untuk sebuah even perdana yang bertempat di pendopo Kabupaten Lumajang

Ibu dan bapak menerimanya dengan ragu dan penuh kehati-hatian, kemudian bertanya tentang apa keperluannya sampai tengah malam harus datang ke rumah. Bahunya yang kokoh terguncang, ia bercerita dengan menahan tangis, ia bertutur bahwa istrinya sedang tergolek kritis di RSUD Haryoto akibat kanker payudara stadiun empat yang diderita sejak lama tetapi baru ketahuan beberapa bulan ini. Ia mengaku mendapatkan info dari tukang becak di perempatan kantor untuk menghubungi saya sebagai karyawan yang bekerja di sana untuk meminta bantuan sejumlah dana agar bisa merujuk sang istri ke RSUD Dr. Sutomo, Surabaya. Allahu rabbi, sampai hari ini ianya masih suka tersenyum dan menyapa saya saat ketemu di jalan dengan panggilan khasnya, "Mbak PKPU." 

Mengenangnya membuat saya lagi-lagi bersyukur bisa membersamai orang-orang yang membutuhkan meski berakhir sang istri kemudian menghembuskan nafas terakhir pasca operasi beberapa bulan setelahnya. Tetapi ada rasa lega yang menjalari, bahwa kita masih bisa memberi kontribusi. 

Relawan Inpirasi Rumah Zakat dan 'Paksaan' Ammah Hida 
Pasca saya resign di tahun 2016 dari lembaga sosial PKPU karena ingin fokus menulis, membuat saya tetap ingin bersentuhan dengan dunia sosial. Karena mindset yang saya bagun sejak awal bahwa relawan bukanlah pekerjaan namun sebuah panggilan hati. Saya hanya resign dari manajemennya, untuk relawan lepas saya masih terlibat menjadi penyalur dan merawat para donatur.
Kolaborasi Yayasan Cendekia Taka bersama IZI Tarakan 

Saat saya merantau ke Kabupaten Bulungan pun, saya juga dipertemukan dengan teman-teman PKPU di sana. Kami secara kelembagaan di sebuah SD Islam Terpadu melakukan kerja sama dengan IZI untuk mengisisiasi program Ramadhan. Allah selalu punya cara agar saya tidak boleh jauh dari dunia kerelawanan. Sampai di penghujung tahun 2018, Ammah Hida seorang RI (Relawan Inspirasi) asal Ponorogo yang kiprahnya saya kenal dalam dunia trainer dan motivator ini memberikan informasi tentang rekruitmen RI baru dari rumah zakat dengan kalimat penuh rayuan via aplikasi watshapp. 

Beliau mengatakan kepada saya bahwa saya harus mencoba untuk mendaftar. Karena saat itu saya sedang mengerjakan banyak proyek even, jadilah saya hanya memandangi kalimatnya dalam layar gawai sembari galau harus memberikan jawaban apa. Hingga meluncurlah sebuah kalimat panjang lebar yang saya tulis dengan penuh kejujuran dan berakhir saya tekan tombol send, berharap beliau tak lagi memberikan balasan. Di luar ekspektasi, beliau menjawabnya demikian, 
"Mungkin bukan sekarang, tapi mudah-mudahan lain waktu semoga menjadi rezeki antum untuk bisa bergabung menjadi RI yang tangguh dari Lumajang." Skak Mat. 
Saya tak bisa berkata apa-apa selain hanya membalasnya dengan sebuah kalimat singka, "Amin..." 

Berbilang bulan setelahnya Allah mengijabah kalimat singkat saya tersebut. Persis di bulan November tahun 2018 saya resmi menjadi seorang RI yang kemana-mana harus memakai rompi oren khas rumah zakat. Bukan untuk gaya-gayaan tetapi itu sudah menjadi SOP yang harus saya jalankan. Meski kadang di jalan-jalan kampung ada yang galfok menyebut saya "Pahlawan Pembebas Hutang." Duh...duh...duh... 
Memutuskan menjadi relawan bukan tanpa sebab, selain panggilan hati saya meyakini ketika saya berinteraksi dengan berbagai jenis manusia dari beragam tingkat sosial dan ekonomi, akan dapat memupuk empati saya menjadi pribadi yang lebih peka. Meski memupuk empati ini tidak harus menunggu menjadi relawan. 
Pupuklah empati dengan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya apapun profesi kita. 

Wallahu a'lam bishowab...

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *