Bahterahku Tlah Berlabuh (3)



“Memantaskan diri itu bukan untuk dia, tapi untuk Dia.” 


Ceklist memantaskan diri sudah dibuat dan dilaksanakan. Beberapa kajian online pranikah juga sudah diikuti.  Dengan sepenuh kesadaran, karena menikah itu butuh ilmu gak asal laku.


Namun, rupanya hilal yang ditunggu tak kunjung datang. Setelah di cek ulang, lha CV proposal masih tersimpan rapat di laptop dalam folder bernama “my future”. Tibaknya…๐Ÿ˜„


Di sela aktifitas mengurus organisasi dan penerbitan yang baru rilis, saya sempatkan spill beberapa kandidat ustaz/ah yang memang punya kapasitas untuk saya “titipi” CV proposal. Hanya setelah saya memiliki list kandidat para gurunda kok malah saya yang maju mundur (tanpa cantik) ya. Bahkan untuk memulai membuka komunikasi bab ini saja begitu berat. Ada perasaan malu, saru, wagu, campur aduk jadi satu. Entah apa itu namanya. Yang jelas gak serame rasa permen nano nano kesukaanku. 


Eh pembaca ikut deg-degan juga ya nunggu kelanjutannya? Ecieee…๐Ÿคญ


Eh saya tetiba malah jadi ‘flash back’ ke guyonan Mas Hanif bertahun silam saat masa-masa dianya digoda uti dan tantenya tentang pertanyaan yang kerap kali membuat ia harus segera beralih ke tema lain dengan memilih jawaban pamungkas hingga sukses membuat kami terbahak bersama. 

Salah satunya nih, 

“Sini Nda pinjam HPnya.” 

“Buat apa?” 

“Lho katanya suruh nyariin suami?” 

“Lha apa hubungannya?” 

“Sini tak buka facebook bunda, tak tulis pengumuman: Dicari suami salih buat Bunda Novi. Beres kan?” 

“Grrrrrrr…” Hanif…hanif…

Ada lagi kejadian saat bertamu ke rumah sanak saudara. Saat ditanya hal yang serupa ianya menjawab dengan santai. 

“Iya ini Hanif sedang otw nyarikan bunda suami kok.” 

“Nyari di mana?” 

“Kemarin nyari di shopee yang flash sale dan gratis ongkir eh ternyata sudah sold out.” Wkwkwkkwk…

Ya begitulah Mas Hanif, ia selalu punya cara untuk membuat orang lain bahagia. Tertawa lebih tepatnya. Tak jauh beda dengan almarhum ayahnya. ๐Ÿฅบ


Nah, apakah saya akhirnya mengikuti saran Hanif untuk menulis pengumuman di beranda facebook dan mencari di shopee? Ah, hidup memang tak sebercanda itu dan mencari pasangan tak seperti memilih sepasang sepatu di etalase toko. Setelah cocok dan dicoba pas di kaki, bayar. Selesai. 


Jika kondisinya mentok demikian, lalu ke mana muara segala harap selain hanya kepada Allah? 

Ya, saya memutuskan untuk memperkut lagi doa, memohon petunjuk untuk memasrahkan CV proposal ke orang yang benar-benar tepat. Bismillah…dalam sujud panjang saya pungkasi permintaan ini. 


Bersambung ke bagian 4 ๐Ÿ˜‰

Bahterahku Tlah Berlabuh (2)


“Jodoh itu bukan perkara kini atau nanti, tetapi perkara keimanan kepada-Nya sepenuh hati.”  



Mendapat lampu hijau dari Mas Hanif sebenarnya bukan satu-satunya alasan untuk saya akhirnya memutuskan mengakhiri kesendirian. Lebih dari itu, saya menikah untuk beribadah. Meski jauh sebelum keputusan ini dibuat pun pernak pernik yang Allah sajikan sungguh luar biasa. Hingga saya harus mengakui bahwa hidup sendiri itu berat, bestie. ๐Ÿ˜„

Tapi sekali lagi keputusan saya bukan karena “ninaninu” fitnah ini itu yang para ‘single fighter’ pastilah paham dengan yang saya maksud. Laa haula walaa quwwata illah billah…


Kembali pada bab nikah ibadah tadi, yang tentu kita semua tahu akan dihadapkan dengan 2 konsekuensi. Di usia yang tidak muda lagi tentu saja saya sudah memahami bahwa dunia pernikahan tidak sepenuhnya berisi taman bunga tanpa duri, sebaliknya Allah menyajikan keduanya agar ketika kita diuji dengan kesenangan maka kita diminta untuk bersyukur. Sebaliknya, jika diuji dengan kesedihan kita diminta untuk bersabar. 


Ujian kesabaran itu dimulai, saat beberapa teman dekat menawarakan proposal biodata ikhwan. Namun, dalam perjalannya saya menggapnya bagian dari ikhtiar yang masih belum di acc oleh-Nya. Yang penting khusnudzon terus sama Allah. 


Ujian kesabaran berikutnya saya merasakan keengganan yang luar biasa untuk menulis lagi proposal CV yang harusnya setiap tiga bulan sekali harus di ‘update’ gitu ya- ini mah pengalaman karena beberapa kali diminta bantu memproses binaan.๐Ÿคญ


Hingga saya tersadar saat ibuk bertanya kepada saya sudah sampai mana ikhtiar saya? Deg, saya cuma bisa bilang, 

“Belum nulis proposal lagi, Buk. Males.” 

“Lah, trus jodoh bisa turun sendiri dari langit kalau kamu gak ikhtiar?” 

Skakmat. 

Hingga siang itu, saya pun akhirnya ‘agak’ terpaksa menulis CV proposal. Ibuk sampai nunggui dan duduk di samping saya untuk memastikan bahwa saya benar-benar menyelesaikannya hari itu juga. Ya rabb..


Selanjutnya CV proposal yang masih “fresh from the oven” eh from laptop harus saya serahkan kepada pihak yang ‘berwajib’. Hehehehe…

Hingga sebulan kemudian chat masuk ke aplikasi washapp saya, 

“Dik, sepertinya di sini belum ada stok yang sekufu dengan anti. Ana sudah berusaha tapi nampaknya belum nemu.” 

Kira-kira kurang lebih begitulah kalimat sang gurunda. 

“Kalau begitu bolehkah ana ikhtiar di luar Lumajang, ustazah?” 

“Monggo.” Singkat, padat, dan jelas jawaban beliau. 

Tapi berikutnya saya malah bingung, karena menawarakan CV proposal diri tidak seperti bakulan gorengan, gombalan, produk kecantikan dan buku bacaan. Huhuhu…


Bersambung ke bagian 3.๐Ÿ˜Œ

 

๐Ÿ“ธinframe: Mas Hanif dan Abi ๐Ÿ˜Š

Bahterahku Tlah Berlabuh (1)



Pernikahan yang kita semua tahu adalah ibadah terlama bagi sepasang manusia akhirnya tertunaikan sudah. Memutuskan untuk menikah (lagi) setelah 9 tahun sendiri bukan tanpa sebab. Sebagian teman-teman bahkan (mungkin) bertanya-tanya. 
“Bunda Novi menikah?” 
“Sama siapa?” 
“Orang mana?” 
Bahkan ada yang ekstrem bertanya, 
“Akhirnya laku juga, Bund? Ternyata ada ya yang mau sama kamu?” ๐Ÿ˜„

Baiklah, bismillah saya coba untuk mengurainya dalam sebuah kisah. Eaaa…

Kisah ini dimulai saat Mas Hanif akan berangkat mondok. Tiga hari sebelum hari pemberangkatan tetiba ia mengajak saya berdialog mesra, bahkan sangat mesra dengan atmosfer syahdu yang memenuhi ruang kamarnya yang temaram malam itu.
Saya yang sedang sibuk memilah pakaiannya di lemari untuk dipindahkan ke dalam koper harus terhenti dengan kalimatnya yang penuh permohonan dan gaya sok metuweknya itu membuat saya sejenak mengalihkan pandangan. 

“Nda, duduk sini Hanif mau ngomong serius sama Bunda.” 
“Heh? Serius opo, Mas?” Sampai di sini terasa kan bagaimana anak saya yang waktu itu masih akan beranjak usia 13 tahun sungguh sangat metuwek. 
“Bunda duduk sini dulu ta, beneran ini Hanif mau ngomong serius.” 
Sampai di sini saya berkelakar untuk menguji keseriusannya. 
“Halah serius opo tho, Nif? Kamu itu ada-ada saja. Emoh Bunda masih mau menyelesaikan menata baju-bajumu ini lho.” 
“Bunda lak mesti. Lihat Hanif sini, Hanif benar-benar serius mau ngomong sama Bunda ini.” Eh, wajahnya tampak memohon dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Itu artinya, saya harus segera menghampirinya, duduk tepat di sampingnya seperti yang ia minta. 
Dengan penuh perhatian saya kemudian mempersilakan Mas Hanif bicara yang katanya “serius” itu. 
“Nda, tiga hari lagi Hanif berangkat seleksi ke Gontor. Kalau Hanif nanti diterima mondok di Gontor, Bunda lak sendirian ya? Beberapa hari ini Hanif kepikiran. Setiap mau tidur Hanif mikir Bunda.” Metuwek mode on lagi deh pikir saya dalam hati. Tapi kali ini kok rasane “nyes” ya nang ati. 

Sembari menimpali keresahannya dengan sebuah kalimat, 
“Trus kenapa, Le? Bunda gak sendirian kok. Ada Allah yang selalu membersamai.” Uhuk kali ini saya memberikan jawaban yang sok bijak padahal asline yo pingin mak byor ae banyu moto iki*

Ya Hanif tahu ada Allah. Tapi bukan itu maksudku.” 
“Trus gimana-gimana maksudmu?” 
“Ya Hanif khawatir Bunda sendirian. Kan biasanya Hanif yang jagain Bunda.” 
“Oh itu. Santai, Le. Toh, bentar lagi Bunda juga balik ke rumah Uti dan Kung. Nah, berarti Bunda gak akan sendirian kan?” 
“Duh Bunda bukan itu maksud Hanif.” Tetiba air matanya tumpah. Eh Hanif nangis. 
“Hanif cuma mau bilang, Hanif in sya Allah rida kalau Bunda menikah lagi, Hanif sudah ikhlas, Nda. Hanif gak mau lihat Bunda sedih, lihat Bunda sendirian, dan gak ada yang jagain.” Ya rabb, jadi daritadi ngajak ngomong serius itu maksudnya ini? Allahu rabbi…

Malam itu pun kami berdua berpelukan erat sambil bertangisan. Meski biasaya dia sebagai lelaki agak gengsi kalau menumpahkan air matanya berlebihan sampai sesenggukan tapi malam ini berbeda. 

Dialog malam itu begitu menghati. Saya menutupnya dengan candaan ringan seputar kriteria ayah yang ia inginkan. Setelahnya saya terus memasrahkan hati, beristikharah meminta petunjuk-Nya yang maha kasih. 

Bersambung ke bagian 2 

๐Ÿ“ธFoto candid hanya pemanis, bidikan fotografer kece Pak Su Mbak @umihanikumi saat menghadiri tasyakuran pernikahan putra Ustaz @satriahadilubis yang sayang kalau tidak diabadikan disertai tulisan.

Total Tayangan Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *