Tersenyumlah, Cinta


Cinta sejati itu melepaskan, semakin sejati cinta yang kau punya maka semakin tulus juga kau akan melepaskannya

Tak lelo lelo lelo legung
Anak lanang bunda sing paling ganteng
Insya Allah sholat lima waktu patheng
Mbesuk gedhe dadi wong paling bruntung
Mlebu swargo kumpul sak kluarga bareng-bareng
Aamiin aamiin ya robbal ‘alamin

Seperti biasa, sebelum tidur si kecil Iman selalu meminta Astuti untuk menggosok-gosok punggungnya seraya bersenandung celoteh merdu sang Bunda, tak lelo lelo le gung dengan penuh kekhusyu’an.
Namun, di tengah keasyikannya menidurkan Iman pikirannya terbang ke sosok seseorang yang akhir-akhir ini mengusik batinnya.

“Menikah?”, untuk kesekian kalinya ia bertanya pada hati nurani. Kembali ia mengeja kata itu, M-E-N-I-K-A-H? Aaah…rasanya tak sanggup ia mengulang kata ini lagi. Benarkah? Benarkah ia tak sedang berada di negeri dongeng yang bercerita tentang kisah Cinderella bertemu dengan sang pangeran pujaan?

Kehadiran sosok lelaki bermata teduh itu membuat hati Astuti berbunga-bunga. Ia bisa merasakan ketulusan dari sosoknya yang penuh kelembutan. Jatuh cinta. Benarkah Astuti telah jatuh cinta? Secepat inikah? Dialog  batinnya hampir tanpa jeda. Positif, ia jatuh cinta. Tapi benarkah lelaki itu mau menerimanya apa adanya?

Bukankah ia wanita yang tak lagi memiliki fisik sempurna pasca kecelakaan maut yang menimpanya beberapa bulan lalu. Pun karenanya, Ia harus rela kehilangan kaki kanannya untuk diamputasi plus vonis multiple fraktur di beberapa bagian tubuhnya.  Bahkan bayangan masa depan yang suram terus bergelanyut dalam bola matanya yang sendu.

"Mana mungkin? Mana ada lelaki yang mau menghabiskan sisa hidupnya bersama seorang pesakitan sepertiku?”, pekiknya selalu bernada duka. Tangisnya pecah, lebih nyaring dari gelas kaca yang sengaja dipecahkan oleh pemiliknya. Perih. Air mata yang menganak itu mulai mengering bersamaan dengan matanya yang redup mulai mengatup, ia pun kemudian terlelap dalam kesedihan.

Bunyi alarm mulai berdering dari BB kesayangan Astuti. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Seperti biasa dengan langkah tertatih ia kembali bangun menyusun kepingan harapan untuk menggapai cinta sang pemilik hidup, Rabb terkasih.

Astuti Kusumaningati, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu tepat sembilan bulan yang lalu harus menerima takdirNya kehilangan suami yang sangat dicintai, ayah dari anak laki-laki satu-satunya, Tansah Iman Ing Qolbu.

Langkah kruknya yang berderit seolah menjadi lantunan melodi berirama meski mungkin kadang berisik namun tak satupun dari penghuni rumah ikut bangun membersamainya dalam sujud panjang. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya ia selalu hanyut dalam kesyahduan melantunkan doa-doa panjang. Melangit asa ia memohon kesabaran dan keikhlasan yang keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Terkadang bisikan-bisikan akan kekhawatirannya tentang masa depan seolah membuat batinnya bergejolak. Keputusasaan terkadang masih rajin hadir bermain-main dalam benaknya yang lara, protes-protes kecil pada sang Klaliq pun tak segan ia tumpahkan.

”Kenapa harus saya? Kenapa saya yang Kau pilih untuk menjalani takdir ini? Bukankah Kau tahu si Iman masih kecil, ia masih butuh sosok ayah sebagai figur hidupnya? Ya Alloh ya Rabb, kenapa saya ya Rabb? Kenapa?”, jerit sisi hatinya saat itu.
”Ya, barangkali inilah cara Alloh menguji hambaNya atas keimanan yang sudah menghujam di dada. Bukankah kau tahu itu, Bund? Ayolah Bund, kau masih punya Dia tempat untuk bersandar”, pekik sisi hatinya yang lain mencoba berdamai dengan takdir.

Untuk malam ini, setelah ia puas menumpahkan segalanya ia pun beranjak menuju pembaringan, menatap tubuh kecil Iman yang sedang terlelap. Ia dekap dan kecup kening amanah Allah satu-satunya itu sambil membisikkan untaian doa yang selalu ia panjatkan di telinga Iman, ”Iman jadi anak sholih yang berakhlaq mulia ya, Nak”. Hal ini selalu tak pernah membuat Iman terbangun meski hanya untuk sekedar sejenak membuka mata. Tidak sama sekali. Persis sekali dengan almarhum ayahnya.

Astuti masih ragu atas perasaan yang tiba-tiba hadir dan merasuki jiwanya. Selain Iman, pasca kepergian suaminya tak pernah ia menaruh harapan besar pada lelaki manapun. Akan tetapi, kehadiran lelaki ini membuat dunia Astuti berwarna.

Seperti sore ini, tak biasanya Astuti mematut diri di kaca, sengaja memakai gamis purple kesukaannya dengan padu padan kerudung bernuansa bunga-bunga menggambarkan susana hatinya saat ini. Persis, kali ini Astuti nampak seperti gula-gula. Manis. Meski benda bernama kruk itu sangat kontras dengan pesona yang terpancar di wajahnya. Senyum mengembang dari bibir mungilnya, deskripsi bagi sosok Astuti yang ramah dan peduli pada siapa saja. Namun, meski senyum itu kali ini mulai kembali mengembang, pasti semua orang tahu bahwa di kedalaman bola matanya masih tersimpan kesedihan yang mendalam. Kompleks. Astuti kemudian hanya bisa melakukan dialog-dialog tak berujung dengan nuraninya.

"In sya Allah saya akan menerimamu apa adanya, dek. Mendampingi saya yang juga tak sempurna ini”. Mengingat kalimat itu selalu membuat Astuti melayang  sampai ke langit ke tujuh. Rasanya seperti saat habis mengkonsumsi berbutir-butir diazepam sebagai peredam rasa nyeri dari dalam tubuhnya yang masih kerap ia rasakan, nge-fly. Pun setelahnya, pasti tubuhnya akan terasa sangat ringan dan berakhir dalam tidur lelap tanpa beban.

"Sah”, dengan penuh keyakinan pak penghulu mengucapkan tiga huruf yang ditunggu-tunggu ini.
”Barokallahulaka wa barokah ’alaiyka wa jama’ah bainakumaa fii khoiyr”,
”Aamiin’, para undangan mengaminkan dengan penuh kesyahduan.

Seremonial bersatunya dua hati dalam ikatan ’mitsaqan qhaliza’ tunai sudah. Astuti bukan sedang bermimpi, dari arah pelaminan terlihat senyum merekah mempelai wanita dengan gaun putih mempesona. Sang lelaki bermata teduh sebagai mempelai pria pun tak kalah sumringah. Di ujung sana, seorang tamu undangan bergaun purple kesayangan dengan senyum penuh ketulusan ikut berderet mengantri untuk memberi ucapan kepada kedua mempelai. Derit kruknya yang khas menjadikan sosoknya berubah menjadi ’center of interest’ di tengah keramaian yang sedang tercipta. Tetapi langkahnya yang mantap, membuktikan betapa ia pemilik hati yang perkasa, semua orang pasti mampu merasakannya meski tak terkatakan.

”Cinta sejati itu melepaskan, semakin sejati cinta yang kau punya maka semakin tulus juga kau akan melepaskannya”, ujarnya dalam keheningan batinnya. Suatu saat Dia akan memberikan episode terindah dalam hidupnya, karena dalam munajahnya yang panjang ia yakini bahwa cinta sempurna itu ada, meski terkadang tak butuh fisik sempurna untuk bisa mewujudkannya. Dan dia percaya, bahwa tak ada yang tak mungkin jika Dia berkehendak. Karenanya, tak ada alasan untuk tak bahagia, karena bahagia itu sederhana, sesederhana memberikan senyuman terindah untuk setiap jiwa. Tersenyumlah, Cinta. Karena senyum sejatinya adalah energi jiwa agar kita bisa lebih sabar dan ikhlas dalam menyikapi setiap episode hidup yang akan kita perankan, sesedih apapun skenario yang Dia berikan. Tugas kita hanya memerankan d
engan sebaik-baiknya.


Antologi cerpen I Love Me

*cerpen ini pernah memenangi kompetisi menulis cerpen yang bertema "I Love Me" oleh penerbit Cessomediapublisher dan dibukukan ke dalam buku antologi cerpen I Love Me yang berjudul Aku Bisa, Aku Kuat. 

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Blog

Archive Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *