“Jodoh itu bukan perkara kini atau nanti, tetapi perkara keimanan kepada-Nya sepenuh hati.”
Mendapat lampu hijau dari Mas Hanif sebenarnya bukan satu-satunya alasan untuk saya akhirnya memutuskan mengakhiri kesendirian. Lebih dari itu, saya menikah untuk beribadah. Meski jauh sebelum keputusan ini dibuat pun pernak pernik yang Allah sajikan sungguh luar biasa. Hingga saya harus mengakui bahwa hidup sendiri itu berat, bestie. 😄
Tapi sekali lagi keputusan saya bukan karena “ninaninu” fitnah ini itu yang para ‘single fighter’ pastilah paham dengan yang saya maksud. Laa haula walaa quwwata illah billah…
Kembali pada bab nikah ibadah tadi, yang tentu kita semua tahu akan dihadapkan dengan 2 konsekuensi. Di usia yang tidak muda lagi tentu saja saya sudah memahami bahwa dunia pernikahan tidak sepenuhnya berisi taman bunga tanpa duri, sebaliknya Allah menyajikan keduanya agar ketika kita diuji dengan kesenangan maka kita diminta untuk bersyukur. Sebaliknya, jika diuji dengan kesedihan kita diminta untuk bersabar.
Ujian kesabaran itu dimulai, saat beberapa teman dekat menawarakan proposal biodata ikhwan. Namun, dalam perjalannya saya menggapnya bagian dari ikhtiar yang masih belum di acc oleh-Nya. Yang penting khusnudzon terus sama Allah.
Ujian kesabaran berikutnya saya merasakan keengganan yang luar biasa untuk menulis lagi proposal CV yang harusnya setiap tiga bulan sekali harus di ‘update’ gitu ya- ini mah pengalaman karena beberapa kali diminta bantu memproses binaan.🤭
Hingga saya tersadar saat ibuk bertanya kepada saya sudah sampai mana ikhtiar saya? Deg, saya cuma bisa bilang,
“Belum nulis proposal lagi, Buk. Males.”
“Lah, trus jodoh bisa turun sendiri dari langit kalau kamu gak ikhtiar?”
Skakmat.
Hingga siang itu, saya pun akhirnya ‘agak’ terpaksa menulis CV proposal. Ibuk sampai nunggui dan duduk di samping saya untuk memastikan bahwa saya benar-benar menyelesaikannya hari itu juga. Ya rabb..
Selanjutnya CV proposal yang masih “fresh from the oven” eh from laptop harus saya serahkan kepada pihak yang ‘berwajib’. Hehehehe…
Hingga sebulan kemudian chat masuk ke aplikasi washapp saya,
“Dik, sepertinya di sini belum ada stok yang sekufu dengan anti. Ana sudah berusaha tapi nampaknya belum nemu.”
Kira-kira kurang lebih begitulah kalimat sang gurunda.
“Kalau begitu bolehkah ana ikhtiar di luar Lumajang, ustazah?”
“Monggo.” Singkat, padat, dan jelas jawaban beliau.
Tapi berikutnya saya malah bingung, karena menawarakan CV proposal diri tidak seperti bakulan gorengan, gombalan, produk kecantikan dan buku bacaan. Huhuhu…
Bersambung ke bagian 3.😌
📸inframe: Mas Hanif dan Abi 😊
0 komentar:
Posting Komentar