Hari ini adalah hari ketujuh belas kami berada di perantauan nun jauh dari sanak keluarga. Kemarin siang dalam jeda merehatkan badan karena aktifitas lembur yang tak terkira membuatku tak tersadar akan bunyi handphone belasan kali terbaca pada notifikasi layarnya. Sayup kemudian terdengar ketukan ritmis dari arah pintu depan. Bergegas memungut jilbab, kemudian membukanya dengan masih mengucek mata.
Gerombolan sholihah seolah termuntahkan dari arah pintu yang ku buka. Buru-buru kuminta masuk ke dalam rumah. Ajakanku sia-sia karena klalson mobil dari arah jalan membuat mereka berhambur ke arahnya, setelah bertanya kepada saya, "Ustadzah sudah belanja bahan-bahannyakah? " Lunglai tubuhku ingin rebahan saja, tapi jam sudah menunjukkan pukul empat WITA, itu artinya adzan Ashar baru saja berkumandang. "Astaghfirullah... ", pekikku baru tersadar akan suara adzan yang juga tak terdengar. Kuurungkan langkahku menuju kamar mandi, sejenak kutuntaskan dulu urusanku dengan si penelpon yang namanya sangat kukenal dalam notifikasi. "Innillahi wa inna ilaihi rooji'un... ", ucapku lirih setelah mendengar gadis bermata sipit dari seberang sana menceritakan berita duka dari salah satu anggota "lingkaran cinta" yang pernah kubina.
"Bunda telepon dia ya Bund, dia sangat butuhkan perhatian Bunda", rajuknya bernada agak memaksa.
"Iya Mbak, in sya Allah nanti bunda akan usahakan telepon dia", sambil teringat akan janji sesore ini dengan para pasukan Ananda kelas 6 sholihah.
Hemm... Bismillah...all is well. Tetiba ku tersadar bahwa sejak aku bangun tadi, tak terlihat sedikitpun batang hidung si sholih boyku. Baru kemudian kuteringat bahwa saat kondisiku setengah terlelap dia izin main ke tempat temannya yang tetanggaan dengan kami. Alhamdulillah, bersamaan dengan pasukan sholihah ia muncul penuh keceriaan. Ikut bersemangat membantu belanja bawang putih dan tepung bumbu. Saat proses masak memasakpun ia ikutan ribut jadi komentator untuk kakak-kakaknya. Sampai di tengah keasyikan memasak aku kemudian bercerita tentang berita duka yang menimpa salah satu muridku di Jawa.
"Oh mai gat!, kasihannya", pekik salah seorang di antaranya.
"Kalau ada orang meminggal itu harusnya bilang Innalillahi... bukan oh mai gat gitu lho", timpalnya dengan gaya sok tahu hingga seluruh dapur riuh dibuatnya. "Hemm...pintarnya", seloroh salah satunya dan adegan lebay hanif sok pintar dengan gaya khasnya pasti akan berlanjut lebih 'gila'. *hehehehee...
Menyaksikan adegan itu, teringat pula aku akan sebuah selang air yang beberapa hari lalu kami sempat wara-wiri ke beberapa toko bangunan untuk mencari selang air yang pas diameter ukurannya. Dengan sok dewasa ia menjelaskan kepadaku bahwa selang air itu terlalu kecil, tidak seperti yang ada di rumah.
Aku meyakinkannya bahwa ukurannya sama, ia pun dengan gaya masih sok dewasa berkata, "Kalau memang bunda maksa mau beli yang ini, percaya wes sama hanif nanti pasti ndak pas kalau dipasang di krannya", masih dengan tatapan meyakinkan saya yang mulai bimbang. "Baiklah, ndak jadi ya pak. Terima kasih."
Kamipun kemudian memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pencarian selang air esok hari. Sebada maghrib, tetiba mata saya berembun. Slide kemandiriannya yang mulai mendewasa di usianya sekarang membuat saya tak pernah berhenti berucap syukur.
"Terima kasih ya rabb, atas anugerah terindah dariMu untukku saat ini, si sholih boy dengan segala kekurangam dan kelebihannya. Harapku melangit asa bisa terus membersamainya hingga tutup usia". Aamiin...
Wallahu a'lam bishowab....
Tanjung Selor dalam balutan gerimis ritmis, 5 Februari 2017
0 komentar:
Posting Komentar