Tidak ada kebetulan di dunia ini, yang ada adalah takdir dariNya
Pertemuan saya dengan buku 7 Keajaiban Rezeki pertama kali di sebuah arena bermain Kiddy Zone salah satu mall di kota M. Saat shift jaga harus berganti peran ke ayah, bunda bisa sejenak rehat sambil menutrisi otak, ya ini salah satunya ketemu jodoh, buku bergizi tinggi. Heu...heu...heu...
"Woow...subhanallah, emejing nih buku", sambil melambaikan tangan ke si dia. Biar dikira chemistry mari kita bagi rezeki ilmu ini, Beib. Dan, kami berdua sukses gigit jari karena alarm tanda bermain usai. Mbak penjaga pun mulai melirik angka waktu di pergelangan mungil sholih boy. Huft...sepertinya pekan depan kita agendakan ke toko buku diskonan demi mengincar buku mega best seller ini.
Lega. Setelah punya sendiri, maunya praktek seutuhnya. Tapi, segerombolan alasan beserta anak buahnya seolah tak kunjung menghilang. Sukses. Hingga buku itu kemudian menambah sesaknya rak buku yang mulai penuh. Sampai takdir Allah membawaku ke seminar itu. GOR Pertamina sebuah Universitas Negeri di kota M menjadi saksi bisu pertemuanku dengan sang penulis.
Allahu Rabbi, tak kusangka dalam gedung berkapasitas sepuluh ribu massa itu aku dipertemukan dengan beberapa orang-orang 'sukses'. Salah satunya Bu S, seorang pengusaha jasa travel dan cattering yang juga salah satu peserta kelas enterpreneur milik Mas Purdi E. Tjandra yang kala itu sedang berjaya. Tak hanya berbagi cerita seru, di akhir perbincangan kami saat jeda waktu rehat beliau sodorkan kartu namanya dengan penuh energi optimistis. Bahkan, dari dalam tasnya ia juga menunjukkan beberapa buku-buku bergizi yang sudah beliau lahap dengan tuntas. Seolah menyuruhku untuk belajar lebih keras jika ingin menjadi sukses dunya wal akhirah.
Akhirnya, kisah tentang nol rupiah baru saja akan dimulai. Ya, di sesi terakhir seminar mas Ippho meminta para peserta untuk memberikan sedekah terbaiknya. Aku? Bagaimana dengan aku?
Ya, aku sejenak tak hanya terpukau dengan gaya penyampaiannya yang energik pun juga terpaku teringat isi dompet yang tinggal lima puluh ribu. *Asli ini serius
Sampai-sampai tak kuasa melihatnya dan terpaksa mengambilnya sambil pakai prosesi tutup mata untuk kemudian disedekahkan bersama dengan peserta yang lain. Tak hanya itu, di menit itu aku semacam mengalami sebuah krisis pede untuk menyakinkan diri bahwa esok Allah akan berikan ganti yang lebih dari ini. Meski sebenarnya hanya butuh waktu sekian menit saja untuk mengikhlaskan lembaran bergambar pahlawan nasional, I Gusti Ngurah Rai itu. Sensasinya sungguh luar biasa, tarik ulur dan perselisihan batin yang menguras energi. Ya Rabb...betapa lemahnya diri, astaghfirullah...betapa teori selama ini hanya mengendap menjadi sebuah kerak kekufuran diri.
Dan...langkah kakiku sukses melewati permadani yang sudah tersulap menjadi tumpukan rupiah, sementara gerakan uang kertas lima puluh ribuan seolah lekat dari ingatan, disertai senyum simpul I Gusti Ngurah Rai, yang seolah berkata, "Ikhlaskan..." Aku pun pulang dengan hanya membawa berlembar-lembar nota belanja yang meringkuk pasrah di dalam dompet usang. Alhamdulillah, from zero to zero...
Bagaimana dengan nol rupiah selanjutnya?
Tunggu kelanjutannya ya!
0 komentar:
Posting Komentar