Jodoh Surgaku




Semalam aku menunggu
untuk mengenangmu
Di sepertiga malam
Ku rangkai doa dalam bingkai kesyahduan
Ada kerinduan mendalam yang tak sanggup terkatakan
Lumat bersama kunyahan kepedihan

Sewindu lebih setahun
Di malam yang sama ku dekap pekatnya malam
Mencoba menutup kelopak mata redup ingin terpejam
Nurani berontak menghujam
Memilih setia mengejar takdir yang ‘kan terjadi esok pagi

Dalam kesakralan seremoni
Ku coba ciptakan harmoni
Atas ikrar suci
Mitsaqan qhaliza tlah terpatri
Ya robb, kini ku kan arungi bahtera ini
Tak sendiri

Bersama terasa sempurna
Kesendirian atas skenarioNya terasa lebih indah
Luruh bersama prasangka atas takdirNya
Memeluk syukur tak terhingga
Inilah hidup yang harus terus berjalan meski tanpanya

Separuh nafas tlah tiada
Pergi untuk selamanya
Melangit harap dalam doa
Semoga kutemukan kelak di syurgaNya

Teruntuk jodoh surgaku, dalam momentum 8th anniversary kami-- 8 April 2007


Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki : selamanya memberi yang bisa diberikan, selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
(M. Anis Matta)


Definisi Cinta Bagi Saya

Cinta...bagi saya adalah sebuah kata yang terdiri dari lima huruf yang sulit untuk definisikan. Dulu, saat masih duduk di bangku SMA saya pernah mendefisikan cinta sebagai ’sesuatu yang terasa bergetar’ di dada saat bertemu si dia, pernah ada dalam cerita film Bollywod ’Kuch Kuch Ho Ta Hai’ yang lagi nge-hits kala itu. Beda lagi, saat memasuki dunia mahasiswa, ketika saya mulai  mengenal Islam lewat berbagai forum dan kelompok pengajian di kampus. Saya mendefinisikan cinta sebagai sebuah tanggung jawab robbaniyah.

Karena itu, singkat cerita kemudian saya memutuskan untuk memilih cinta sejati saya lewat sebuah perjodohan dari seorang guru ngaji. Saya berharap akan dipertemukan dengan seseorang yang belum saya kenal sebelumnya, belajar menerima, mencintai, dan membangun mimpi bersama. Alhamdulillah, Allah mengabulkannya,  hingga ber-ending ’ijab qabul’ pada 8 April 2007, delapan tahun silam.

Heboh? Tentu saja. Kabar pernikahan saya tidak hanya membuat beberapa barisan ikhwan PHP menjadi seketika patah hati. Maklum, meski ta k berparas cantik, tapi zaman itu lumayanlah yang ngantri saya, wkwkwkwk...Bahkan beberapa teman dekat saat SMA juga sempat bertanya-tanya tentang proses pernikahan saya yang tanpa pacaran.

”Koq bisa sih?”
”Kamu menikah dengan orang yang tidak pernah kamu kenal?”
”Menikah tanpa cinta?”
”Gila kamu! Itu sama saja dengan membeli kucing dalam karung, Non!”
”Serius? Kamu mau menikah dengan dijodohkan?”

Dan sederet pertanyaan-pertanyaan menggelitik lain yang hanya bisa saya jawab dengan senyum simpul penuh kemantapan. Bismillah, seru saya dalam hati menyudahi kasak-kusuk yang terjadi.

Cinta oh cinta, betapa kala itu yang saya pikirkan hanya satu yakni menggapai barokah. Titik, bukan yang lainnya. Begitulah, cerita cinta saya ber-ending pada pernikahan suci dengan bumbu cinta dan ridho ilahi. In sya Allah...

Nantikanku di Batas Waktu

Flash back…

Mulai detik itu, saat kenikmatan ber-Islam benar-benar saya rasakan, saya pun memutuskan untuk bermimpi  menikah di usia muda. Saya bercita-cita, kelak saat wisuda tak hanya mendapat gelar sarjana, tetapi double degree sekaligus dibelakang nama saya, gandheng dan gendhong--bergandengan tangan dengan suami tercinta plus menggendong buah cinta kami. Ah, pasti membuat semua mata memandang kami iri. Jadi geli sendiri jika membayangkan mimpi saya kala itu. Tapi bismillah, jika Allah berkehendak, kun fayakun.jadilah maka jadi.

Beberapa teman yang sempat pedekate saat SMA masih ada yang mencoba untuk tetap mendekati saya, meski mereka tahu saya bukanlah Novi yang dulu seperti yang mereka kenal sebelumnya.Kondisi ini kemudian membuat beberapa yang ‘nekat’ pedekate mulai mengurangi intensitas untuk sekedar telepon dan sms-an, mereka tahu bahwa sekarang saya telah bertransformasi menjadi The New Novi. 

Sebaliknya, dari beberapa itu kemudian terseleksi dengan alami dan berlanjut menyatakan diri secara tersirat untuk meminta saya menunggunya sampai benar-benar sukses. Hingga kemudian berjanji akan melamar saya di kemudian hari kepada kedua orang tua. Nantikanku di batas waktu… eaa
Dan semuanya berakhir, mereka tak pernah ada yang kembali selamanya. Hehehe…

Entahlah, mungkin karena sikap saya saat itu cenderung cuek dan pasif  bahkan tak jarang bersikap ‘agak ketus’ pasca berhijrah.Pun permintaan untuk menantikannya di batas waktu hanyalah pekerjaan menunggu yang menurut saya sia-sia belaka, penyebab virus merah jambu.

Alhamdulillah, Allah sebaik-baik pembuat skenario pada hambaNya, selain memang belum berjodoh mungkin Allah memang hendak memberikan calon imam terbaik menurutNya. Karena Allah tahu, Dia memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Saat Mengambil Keputusan Besar Itu

Hingga tepat pada tanggal 5 Maret 2007, saat saya masih duduk di semester 7 salah satu Universitas Negeri di kota Malang, saya mendapatkan biodata seorang ikhwan yang bekerja sebagai abdi negara di Pemkot Batu, Malang.  Subhanallah, hari itu juga bertepatan dengan milad ibunda saya yang ke-empat puluh tujuh. Skenario Allah sungguh luar biasa indah.

Bergetar jari-jemari ini saat membuka amplop putih berisi biodata berserta proposal singkat tentang konsep rumah tangga Islam dan dakwah dilengkapi dua buah foto ukuran tiga kali empat dan satu lagi ukuran postcard dari seseorang yang kemudian  saya tahu bernama Rangga. Ya, Rangga Mariyanto lengkapnya.

Masih sangat melekat dalam ingatan, Allah berikan kekuatan untuk membacanya di dalam Masjid Raden Patah--Universitas Brawijaya, setelah sebelumnya saya selesaikan sholat dua rakaat sebagai upaya menenangkan jiwa dari perasaan campur aduk tak tentu arah.

“Allah, beri hamba petunjukMu ya robb…kalau memang ia jodohku, dekatkanlah dan permudah prosesnya. Tetapi jikalau bukan jodohku, berikanlah hamba kesabaran untuk menunggu jodoh terbaik dariMu. Aamiin…”.

Penggalan doa itu saya coba internalisasikan dalam hati nurani yang terdalam dan mencoba mendialogkan pada sang maha cinta, rabbul izzati, robbku yang kucintai dengan sepenuh hati. Meminta kepadaNya agar diajuhkan dari kekecewaan pada makhluk daan senantiasa menempatkan cintaNya di atas cinta makhlukNya.

Keteduhan masjid itu seolah  menjadi saksi bisu menemani hari-hari proses saya selanjutnya. Sampai hari yang ketiga setelah proposal itu saya terima, baca, dan pelajari tetiba sms dari sang guru ngaji nongol di Nokia 2100 saya sore itu.

“Assalamualaikum, bagaimana kabarnya dek? Apa proposal kemarin sudah anti pelajari? Apakah bisa berlanjut ke proses berikutnya?” , sms p beliau membuat mata saya membualat, memikirkan jawaban yang pas dengan redaksi yang tepat.
“Bismillah…in sya Allah bisa Mbak. “ Entahlah, meski agak ragu tapi jawaban tersebut yang akhirnya mucul di layar seperti memaksa jemari saya agar segera menekan tombol send.
Alhamdulillah…tunggu info selanjutnya dari ana ya dek”. Jawab beliau kemudian tak kalah singkat yang membuat jantung saya semakin berdegub kencang.

Ada Apa dengan Cinta?

Atas izin Allah, alhamdulillah sore itu kami bertemu dalam forum ta’aruf di kediaman guru ngaji saya. Saya sengaja men-setting berangkat lebih awal untuk mengantisipasi hal-hal yang membuat frekuensi ‘gemeteran’ semakin meningkat.

Setelah sepekan melewati proses fit and proper test proposal biodata dari kedua orang tua saya, akhirnya hari bersejarah itu pun tiba. Kami bertemu untuk pertama kalinya. Anehnya, pertemuan yang sejak pertama menerima biodata itu sudah sangat saya idamkan, berakhir dengan berjuta tanya dan salah satunya,
"Tadi orangnya yang mana ya?”
karena pada kenyataannya masing-masing kami tak berani melihat satu sama lain. Malu. Satu kata itu yang kemudiaan saya tahu setelah kami resmi menjadi sepadang suami istri. Eh, ternyata sama. Hehehehe. Bahkan lucunya,
sepulang dari ta’aruf beliau juga bergumam dalam hati,
“Moment ta’aruf kan harusnya aku boleh nadhor (melihat) si calon ya? Tapi bodoh sekali ya aku tadi, kenapa yang sempat kulihat hanya ujung jilbabnya? Nasib, nasib…” Hahahaha…

ebuah antitesis dari keputusan yang saya buat untuk melanjutkan proses ke tahap berikutnya sempat membuat saya ‘galau’ luar biasa. Meski saya tahu alas an saya ini tidak syar’i. Hanya karena selisih usia beliau tiga tahun di bawah saya  kemudian saya didera perasaan keraguan pada proses yang sudah terjadi. Ya robb, ada apa ini? Ada apa dengan cinta? Bukankah cinta telah menemukan Rangga? Bisik saya mencoba untuk menemukan titik temu antara logika dan hati nurani. Istikharah. Hanya itu yang kemudian mengantarkan saya untuk terus bertanya dan berdialog dengan sang pemilik hati. Berpasrah dengan sepenuh jiwa, berharap kemantapan untuk menentukan pilihan. Bismillah, akhirnya dengan penguatan dari sang guru ngaji saya pun akhirnya memantapkan pilihan pada si ‘pencuri’ hati, Rangga Mariyanto. Di usianya yang kedua puluh tiga tahun sudah berani memutuskan untuk menikahi gadis yang selisih usianya tiga tahun lebih tua di atasnya seolah menjadi poin plus tersendiri bagi saya.
“Semoga  beliau memang calon imam terbaik dan anugerah terindah yang dikirim Allah kepada saya, ya robb.” Gumam saya dalam hati sembari menguatkan azzam untuk terus berkhusnudzon atas segala takdirNya.

Kau Pinang Aku dengan Al Quran

Ku pinang engkau dengan Al QuranKokoh dan suci ikatan cintaKutambatkan hati penuh marhamahArungi bersama samudera duniaJika berlabuh di samudra dukaTegar dan sabarlah tawakkal padaNyaJika berlabuh di surga cintaIngatlah tuk selalu syukur padaNya
(Ku Pinang Engkau dengan Al Quran, Nasyid dari Gradasi sebagai pengganti dari alunan musik Kebo Giro di momen sakral pernikahan saya waktu itu)

Alhamdulillah, masa ‘galau’ telah terlewati proses pun berlanjut ke khibah. Khitbah berlangsung dengan dua tahap, khitbah sendiri dan bersama orang tua. Alhamdulillah, selama proses ini kami pun tidak pernah bertemu. Hingga penentuan tanggal pernikahan pun saya yang menyangka akan bertemu dengan beliau, ternyata tidak demikian dengan skenario Allah.

Pakdhe sebagai pengganti dari almarhum ayah beliau tidak memperbolehkan untuk ikut hadir dalam acara tersebut, alhasil kami pun tidak pernah bertemu. Dan, untuk pertama kalinya kami berjumpa dan bertatap muka setelah momen syahdu ‘ijab qobul’ terucap.

Serasa tak lagi menginjak lantai masjid Al Huda saat beliau meraih jemari manis saya untuk dipasangkan cincin emas mahar darinya. Deg, sejenak bumi seolah berhenti berputar…cie, eh, ternyata saya tidak sedang bermimpi. Lelaki berjas di depan saya ini kemudian menyodorkan jemari tangan kanannya untuk kemudian saya cium dengan takzim, sebagai simbol berpindahnya perwalian sejak ikatan ‘mitsaqan ghaliza’tadi Allah simpulkan dengan disaksikan oleh para malaikatNya.

Dan, satu hal lagi yang tidak pernah saya lupa, yang membuat pipi saya memerah menahan malu. Sebuah kalimat yang keluar untuk pertama kalinya yang beliau gunakan untuk menyapa saya dengan ‘ramah’.

"Ukhti, ana harus panggil anti Dik atau Mbak ya? Soalnya kalau dihitung-hitung lho ya, anti lulus SMA ana baru lulus SMP lho”, tanyanya disertai tatapan menggoda dan sukses membuat saya malu luar biasa. Gubrak!  Hiks… ;’( (Sambil gigit sandal)

Engkau, Jodoh Surgaku

Allah memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan


Kisah Ibunda Asiyah dan Fir’aun, Nuh dan istrinya, Umu Jamil dan Abu Jahal telah diabadikan dalam Al Qur’an. Lalu pertanyaannya, Berjodohkah mereka?

Semua misteri. Yang pasti Allah hendak memberikan kita semua sebuah hikmah dari kisah-kisah yang digambarkan dalam Al-Quran tersebut. Pun, saya hanya seorang muslimah yang sedang berproses menjadi baik, dan lebih baik lagi dari hari ke hari. Hingga Allah berkuasa untuk mengambil ‘separuh nafas’ saya dalam usia pernikahan yang masih sangat singkat, lima setengah tahun saja.

Meski kisah Ummu Salamah tak pernah saya ingkari, tetapi doa saya semoga engkaulah Jodoh Surgaku, yang Allah ridho denganku dan aku ridho denganmu, karena aku mencintaimu karena Allah suamiku tercinta…dan sejatinya tulang rusuk itu tak akan tertukar jikalau memang kita tidak ditakdirkan abadi di dunia, semoga Allah perkenankan untuk sebuah perjumpaan yang terindah di surgaMu yang terindah. Aamiin

dalam munajah di sepuluh terakhir Ramadhan
Lumajang yang syahdu, 26 Ramadhan 1437H



*tulisan ini dibukukan dalam Antologi Kisah Inspiratif tentang Jodoh "Haruskah Aku Melamarmu" FLP wilayah Jatim November 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Blog

Archive Blog


Jejak Karya

Jejak Karya
Cinta Semanis Kopi Sepahit Susu adalah buku single pertama saya, yang terbit pada tanggal 25 April 2017 tahun lalu. Buku ini diterbitkan oleh QIBLA (imprint BIP Gramedia). Buku ini adalah buku inspiratif dari pengalaman pribadi dan sehari-hari penulis yang dikemas dengan bahasa ringan tapi syarat hikmah. Ramuan susu dan kopi cinta dari hati penulis ini menambah poin plus buku ini sangat layak dibaca bahkan dimiliki.

Bagian Dari

Blogger templates

Blogroll

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *